Jauh sepanjang mata
memandang, biru terhampar begitu megah.
Ombak menggulung diantara laju waktu yang terus beradu cepat dengan kerasnya
zaman. Sampan kecil bertenaga dayung terombang-ambing mesra diantara gemulai
air laut. Nelayan tua bersenjata pukat
hela dan pukat tarik atau terkenal dengan sebutan cantrang begitu
bersemangat mengunduh rezeki-Nya di belantara samudra.
Pak Kasmin nama
nelayan itu. Hanya di lautlah harapan dan impian masyarakat pesisir seperti pak
Kasmin dan ribuan nelayan kecil di Kabupaten Batang dan Pekalongan, Jawa
Tengah. Bagian dari pantai utara pulau
Jawa yang terbentang dari Banten hingga
Jawa Timur.
Tapi, kehidupan tak
begitu saja menyajikan kemudahan. Siapapun yang hidup, musuh-musuh kehidupan
akan silih berganti menguji dan menantang bahkan dengan mentang-mentang.
Anggapan bahwa masyarakat pesisir hidup dengan berkecukupan tidaklah sepenuhnya
benar. Ya, benar. Berkecukupan bagi mereka yang punya koneksi dengan perusahaan
besar, tengkulak atau makelar iklan. Sedangkan nelayannya?
Mereka hidup dalam
kesederhanaan dan keterbatasan. Hidup di pesisir adalah pilihan untuk berjuang
dengan keras seperti karang yang harus tahan gempuran zaman. Para nelayan kecil
bukan hanya bergelut dengan ombak pasang dan gempuran badai di tengah laut.
Namun, mereka harus berhadapan dengan jaringan korporasi perusahaan penangkapan
ikan, tengkulak besar, maling ikan dari luar negeri dengan beking-beking dan
cukong-cukong.
Tidak jarang,
akhirnya para nelayan kecil itu memilih mengabdikan diri untuk bekerja pada
perusahaan besar yang tentu saja tidak mau rugi dan harus untung besar. Belum
lagi soal rentenir dan makelar ikan yang bergentayangan laksana hantu-hantu
penghisap darah.
Adalah kabar gembira
yang membangkitkan harapan, setelah Presiden ketujuh Republik ini menunjuk juragan ikan, Susi
Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ibu Susi yang juga CEO dan
Owner maskapai penerbangan Susi Air, tentu saja haqul paham tentang bagaimana
sejatinya kehidupan pesisir.
Ketika terbit
peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan
alat tangkap ikan cantrang atau penggunaan pukat hela dan pukat tarik,
ribuan nelayan di pesisir pantai utara
Jawa Tengah menjerit dan protes keras. Mereka bahkan sempat berdemo dan turun
ke jalan.
Tentu saja, Menteri
Susi Pudjiastuti sudah punya pertimbangan yang matang dan kalkulasi yang cukup
atas terbitnya peraturan menteri ini. Pertimbangan lingkungan, ekosistem laut,
hingga soal pemakaian bahan bakar bersubsidi. Dan sudah biasa, jika kebijakan
menuai pro dan kontra.
Bagi nelayan,
kebijakan tersebut adalah sangat memberatkan atau bahkan membunuh pendapatan
nelayan. Mereka yang sedang kesulitan justru dilipatgandakan kesulitanya dengan
peraturan menteri ini. Adalah langkah bijak, jika pelarangan kapal cantrang
dipaketkan dengan solusi jitu atau alternatif
lain untuk mengalihkan kepada alat yang tidak merugikan. Artinya, mengatasi
masalah, tanpa masalah. Bukan malah menumbuhkan masalah baru.
Akibat penolakan
nelayan itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menulis surat kepada Menteri
Pudji Astuti agar wilayah Jawa Tengah diberi kelonggaran soal pemberlakukan
pelarangan ini. Alasanya, demi kesejahteraan nelayan dan tidak menimbulkan bara
panas yang dapat mengganggu kestabilan kehidupan pesisir.
Akhirnya, kembali
kita simpulkan. Bahwa hasrat pembangunan ekonomi dan mensejahterakan kehidupan
manusia selalu bertentangan dengan teori menjaga keseimbangan lingkungan
hidup. Tinggal pilih, mau meningkatkan kesejahteraan dan membuat hidup lebih
baik dengan mengorbankan environment equilibrium atau tetap hidup
sederhana bersama alam.
Penulis : Adi Esmawan - Aktivis Lingkungan Hidup
Lihat juga : Menyelamatkan Bumi di Menit-Menit Terakhir
0 komentar:
Posting Komentar