Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Cerpen : "Misteri di Malam Kelam"


Aku masih mengenang peristiwa itu. Kala remang-remang lampu jalan menyamarkan malam. Saya hendak pulang dari berjualan roti bakar. Pedagang sate dan kue serabi juga sudah berkemas-kemas hendak pulang ketika kegaduhan disusul letusan pistol mengagetkan rasa kantuk. Dan kami terperanjat, ketika sosok pemuda  lumpuh terkena timah panas di kaki kirinya, kemudian diringkus sekawanan polisi. Aku bergidik sambil tetap mengemasi dagangan di gerobak.

“Adnan?”, gumamku pelan sambil melongo seakan masih tak percaya. Pemuda tanggung itu merintih kesakitan ketika tubuhnya diseret setengah paksa dan dicampakan di mobil polisi.  Kemudian insiden itu berlalu dengan cepat.

Paginya, saya baru tau. Bocah baru gede itu ditangkap polisi karena diduga  terkait sekawanan begal. Ah, aku masih saja ragu. Adnan yang ku kenal orangnya baik. Pemuda tampan itu sering membeli roti bakar daganganku dan orangnya ramah. Tak dinyana, ia anggota komplotan begal. Dan beberapa bulan kemudian ia divonis hakim tiga tahun penjara. Katanya, ia hanya berperan sebagai juru informasi.

Dan kini, Adnan tengah kembali ke kampung ini. Ia menjadi buah bibir ibu-ibu yang hobi mewartakan gosip hangat. Kabar terbaru, sebagian besar warga baik bapak-bapak maupun ibu-ibu hendak berdemo di depan rumah Pak Karim, orang tua Adnan. Ya, mereka hendak mengusir Adnan agar tidak lagi tinggal di kampung ini.

“Pak, kita nanti ikut demo nggak? nanti dibilang tidak kompak lagi?”, Istriku  yang sedang menjahit membuka percakapan.

“Ah, nggak usah ikut-ikutan. Wong rumah-rumahnya dia. Lagian dia kan sudah dihukum sama negara to?”, sahutku menimpali sambil menyeruput kopi hangat. “Coba kalau si Adnan itu anak kita, kan kasihan”.

“Ih, amit-amit. Tapi kan, kata Bu RT dia sudah meresahkan dan merusak nama baik kampung kita Pak”.

“Ya, terserah Ibu saja kalau mau ikutan demo. Aku sih ogah”.
“Ihh, bapak nggak kompak. Diomelin tetangga baru tau ntar”.
Saya terdiam tak menanggapi. Kemudian merenung, menerawang langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan sarang laba-laba , lama tidak dibersihkan. Ada selaksa bayangan wajah Adnan yang tiba-tiba muncul dalam lamunan pikiranku.

Kasihan dia. Usianya masih sangat muda. Mungkin hanya selisih dua tahun dari anak pertamaku yang masih 18 tahun. Masa  depanya masih sangatlah panjang. Seharusnya penduduk memperlakukannya dengan baik dan membawanya kembali ke jalan yang benar.

“Bu, aku tidur dulu ya. Bangunkan aku sebelum ashar. Saya mau ke swalayan ambil stok roti nanti sore”, pesanku pada istriku yang masih sibuk dengan jahitanya. Ia hanya mengangguk mengisyaratkan paham.

Malamnya, seperti biasa saya kembali mangkal di trotoar dekat kelurahan menjajakan roti bakar. Tidak biasanya, malam ini begitu sepi dan lengang. Si Pardi penjual serabi dan Mang Dodo penjual sate belum terlihat. Padahal, biasanya ia datang lebih awal. Ada yang aneh.

Tiba-tiba, terdengar teriakan kegaduhan dari tengah kampung. Bersamaan dengan itu, ku lihat sesosok manusia berlari tergopoh ke arahku.  Wajahnya berdarah-darah. Kakinya terseok-seok.
“Adnan?”, sambutku sambil sedikit memapahnya yang kesakitan.
“Pak, tolong aku”, jawabnya spontan dengan nafas yang memburu. Aku mulai menebak-nebak apa yang terjadi.

“Tenangkan dirimu nak, duduklah”, pintaku dengan nada kebapak-bapak-an.

“Rumahku sudah dibakar warga, bapak-ibuku dihajar beramai-ramai. Aku akan dibunuh pak”, jawabnya sambik menahan sesegukan. Air matanya mengalir diantara luka memar di wajahnya yang masih imut.

“Astagfirulloh”, sahutku pelan. Kemudian mengamati situasi kanan kiri. Beruntung. Tak ada orang. Dan entah terdorong oleh kekuatan dari mana. Aku lantas menggendong Adnan dan berlari sekencang-kencangnya menjauh dari kampung sambil menunggu keberuntungan ada angkutan lewat.

Dan, keberuntungan segera berpihak. Ada sopir truk yang melintas dan aku menyetopnya. Lebih beruntung lagi ketika truk itu tidak berisi muatan. Kemudian dengan alasan membawa anak kecelakaan, aku izin numpang di bak belakang untuk membawanya ke Puskesmas.

“Tenanglah nak, aku akan membawamu ke tempat yang aman”, kataku pelan.

“Terima kasih pak. Kenapa bapak tidak benci padaku? Aku ini penjahat pak?”, jawabnya sambil memelukku haru.

Aku tidak menjawab. Mataku sembab menahan tangis. Oh, ada saja takdir yang kau tetapkan atas hamba-Mu Tuhan. Tapi saya yakin selalu ada hikmah di balik peristiwa ini.

Dan truk berhenti tepat di depan Puskesmas Kecamatan. Kami berdua turun dan bergegas menuju ruangan utama. Disana ada petugas piket yang segera menyambut kami.

“Mohon pertolongan, anak saya kecelakaan, ia jatuh dari motor”,  ucapku pada petugas jaga. Dengan cekatan, ia langsung membawa Adnan ke ruangan  periksa.

Aku cemas. Apa yang  telah terjadi di kampungku? Gerobak roti bakarku yang kutinggalkan pasti menuai kecurigaan warga. Ah, sebaiknya aku pulang dulu membereskan segalanya dan menyusun langkah selanjutnya.

“Pak, aku titip anakku dulu, saya akan pulang mengambil uang”, pamitku pada petugas Puskesmas.

“Silahkan pak, anak anda biar istirahat di sini untuk perawatan lebih lanjut. Nanti soal identitas dan lain sebagainya segera di urus”, jawab petugas jaga itu datar.
“Baik Pak”, sahutku patuh. Segera saja saya bergegas keluar. Jalanan masih sepi. Tidak ada tanda-tanda angkutan malam. Namun semua segera teratasi ketika pangkalan ojek tak jauh dari Puskesmas.
Gerobak roti bakarku masih utuh. Segera saya membawanya pulang. Di tengah jalan menuju kampung, penduduk tampak sibuk yang tak lazim. Namun beruntung, lagi-lagi penduduk sekitar tidak menaruh curiga.
Dan, apa yang terjadi. Kampungku benar-benar mencekam. Rumah Pak Karim sudah ludes terbakar. Pak Karim dan istrinya  sekarat dihajar massa. Polisi datang terlambat seperti di film-film hollywod. Nasi sudah menjadi bubur.

Aku segera berlari menuju rumah sambil sekuat tenaga mendorong gerobak.

“Ada apa to pak, kok kayak di kejar setan”, istriku berseloroh melihat tingkahku yang tergesa-gesa.
“Kamu nggak ikut demo anarkhis ke tempatnya Pak Karim?”, tanyaku ngawur.
“Nggak to pak. Jahitan masih numpuk, memangnya sudah dimulai?”, tanya istriku penuh selidik.
“Sudahlah, kamu tidur saja. Di luar situasi gawat. Kayak sedang perang. Aku pamit keluar sebentar”. Kataku sambil menghidupkan mesin motor dan tancap gas.
Sesampainya di Puskesmas, aku bergegas ke ruangan Adnan. Betapa kagetnya, ketika batang hidungnya sudah tidak ada. Segera saya temuin petugas jaga tadi.
“Pak, dimana anak saya?”
“Lhoh, bukanya dia di kamar perawatan?”, dia bertanya balik.
“Tidak ada!”
“Tidak ada?”
Kami berdua cek balik, dan benar tidak ada siapa-siapa. Kami berdua saling bertatap muka. Kemudian saya segera bergegas keluar. Mungkin dia kabur.
Aneh, tidak ada jejak. Seperti di telan bumi.  Ku tanya warga yang berlalu juga tukang ojek. Tak ada yang melihat Adnan. Kabur ke mana kemana dia?
Aku tidak patah arang. Segera ku cari di sepanjang jalan dengan motor, mungkin dia berlari ke arah kota. Tapi hingga lima kilometer, tak ada hasil. Nihil. Dengan jiwa letih penuh penyesalan, aku memilih pulang.

Sesampainya di rumah, aku bergegas masuk kamar tamu dan menguncinya. Istriku terheran-heran. Aku tak peduli. Ku rebahkan kepala di bantal dan merenungi apa yang baru saja terjadi. Semua begitu cepat. Untunglah, di Puskesmas tadi saya belum sempat menuliskan identitas apapun. Semoga petugas jaga tadi tidak tahu.

Sepanjang malam, mata enggan terpejam. Bayangan Adnan masih hinggap di pikiranku. Kasihan sekali hidupnya. Ah, aku jadi teringat lagu Ebiet G. Ade “Kalian Dengarkanlah Keluhanku”.

Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat..
Apakah dalam sejarah orang, musti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana, tak pernah menghukum
Dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari..
Ke manakah sirnanya, nurani embun pagi?
Yang biasanya ramah, kini membakar hati
Apakah, bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri?
Tak ada tempat lagi untuk kembali?
Kembali dari keterasingan, ke bumi berada.
Ternyata Lebih menyakitkan, dari derita panjang.

Paginya, kampung ini gempar. Insiden tadi malam segera menyebar ke penjuru. Pak Karim dan istrinya dikabarkan tewas. Nama baik kampung ini ikut ludes bersama rumah Pak Karim. Puluhan orang dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Dan anehnya, si Adnan juga dikabarkan tewas terpanggang api. Ia terjebak di dalam rumah karena takut keluar dan masa yang marah membakar rumah itu.

“Lhah, tadi malam saya menyelamatkan siapa?”, tanyaku terheran-heran.


Tempuran,   Mei 2015
Adi Esmawan, owner jurnalva.com







Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support