Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Desa : Tumbuh Ekonomi, Mati Budaya

Membandingkan saat  ini dengan masa lalu memang tidak bijak. Namun setidaknya, masa lalu adalah cermin untuk melangkah ke masa depan yang lebih cerah.  Masa lalu, sekarang, dan masa depan layak kita sandingkan untuk diambil pelajaran. Dan kita akan mendapati suatu hal yang mendasar, yakni perubahan.

Perubahan memang keharusan waktu. Tidak seorangpun yang bisa menghentikan laju zaman. Kondisi pedesaan di masa lalu dengan masa sekarang sudah berbeda jauh. Teknologi dan arus informasi  telah  menyulap wajah desa hingga seperti sekarang ini.

Ada sisi kebahagiaan, dimana infrastruktur tumbuh pesat. Jalan-jalan aspal nan mulus merambah hingga pelosok. Televisi parabola bukan hal mewah. Demikian juga ponsel, sepeda motor dan mobil. Semuanya sudah menjadi hal biasa bagi kehidupan masyarakat desa.

Pertumbuhan ekonomi dan laju industri telah menjamah kehidupan desa dengan sedemikian rupa. Ekonomi kreatif atau industri kreatif bukan lagi  tersentral di perkotaan. Mungkin inilah yang disebut sebagai progresifitas pembangunan.

Namun ibarat dua sisi mata uang, ada beberapa hal  yang ikut tergerus oleh perubahan. Ya, benar. Hal tersebut adalah kebudayaan. Kebudayaan dalam makna yang seluas-luasnya. Bukan hanya terfokus pada tradisi dan entitas budaya macam tari-tarian dan upacara adat. Itu simbol formal kebudayaan dan bukan kebudayaan itu sendiri. Makna hakiki dari kebudayaan adalah cara hidup.

Secara kasat mata, masyarakat desa sudah kehilangan identitasnya sebagai penduduk yang arif, tangguh, pekerja keras, ramah, dan menjunjung tinggi kebersamaan. Lebih parah lagi, masyarakat di pedesaan sudah kehilangan cara pandang terhadap dunia (world view).

Gaya hidup perkotaan yang menyuguhkan sederet  kesenangan, hidup mudah dengan teknologi, kerja ringan di balik meja kantor, bermadzhab “yang penting hepy”, hingga semuanya diukur dari pencapaian materi membuat anak-anak muda dipedesaan silau dan tergoda.

Mereka, bukan hanya bermigrasi secara fisik dari desa ke kota dengan menjadi perantau atau buruh migran. Namun juga memindahkan cara hidup mereka menjadi gaya kota. Maka jangan heran jika ada anak-anak muda kita berubah total  sekembalinya dari Jakarta.

Apakah ini mengkhawatirkan? Bisa ia, bisa tidak. Mengkhawatirkan jika semua generasi muda bernafsu ingin hijrah ke kota dan meninggalkan potensi desa. Ini gejala bahaya. Saat ini, anak-anak muda selepas  lulus sekolah ingin bekerja di kantoran dan ogah mengikuti jejak ayah-bundanya bertani di sawah.

Nah, kalau semua anak bercita-cita sebagai manajer, direktur, kerja di pabrik, lalu siapa yang akan menyediakan kebutuhan pangan bagi negeri tercinta? Masalah pangan bukanlah masalah sederhana. Seluruh bangsa di dunia menghadapi problematika serius di bidang kebutuhan pangan.

Nah, itu baru sebagian kecil soal sisi lain kehidupan perdesaan. Tumbuh ekonomi mati budaya akan berlanjut di lain waktu. Salam inspirasi.


Adi Esmawan, pengasuh jurnalva.com


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support