Masalah pangan adalah
problematika serius yang akan dihadapi bangsa-bangsa seluruh dunia di abad
ini. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak berbanding seimbang dengan produksi
pangan akan menyisakan sederet masalah, mulai dari kelangkaan pangan, fluktuasi
harga, hingga gonjang-ganjing ekonomi yang berdampak pada stabilitas negara.
Mungkin, kita perlu
memimjam istilah populer Sheila Graham “food is the most primitive form of
comfort” (makanan adalah bentuk kesenangan yang paling primitif). Mantan
Meneg Ristek, Prof. Dr. Ir. Muhammad Zuhal, M.Sc. EE bahkan menambahkan ucapan
Graham di atas, “namun lebih dari itu, dalam pangan terkandung identitas dan
harga diri bangsa.
Artinya, persoalan
pangan bukan perkara main-main. Bahkan keutuhan negara dipertaruhkan dengan
masalah “perut” yang kini justru dianggap “sederhana” oleh kalangan cendekiawan
dan intelektual.
Harga kebutuhan pokok atau sembako yang
stabil, adalah peletak dasar kesejahteraan
masyarakat. Swasembada pangan adalah soal harga diri bangsa di mata dunia. Jika
beras, kedelai, daging, bahkan garam saja masih impor, maka negara ini masih
butuh perbaikan mendasar. Ironisnya, Indonesia bukanlah negara “sempit” dengan
produktifitas pertanian yang rendah.
Di era orde baru,
masalah pangan begitu menjadi pusat perhatian pemerintah. Melalui tri logi
pembangunan, yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, rezim Soeharto
dikenang “berhasil” dalam mengatasi masalah pangan. Bahkan sebagian besar infastruktur pertanian
seperti irigasi dan waduk, adalah hasil peninggalan orde baru.
Namun akhir-akhir
ini, banyak diberitakan mahalnya harga komoditas pangan di tanah air. Akar
masalahnya tentu saja dimulai dari ketidakmampuan Indonesia untuk memproduksi
pangan dalam jumlah memadai untuk kebutuhan penduduknya. Kedua, adalah soal peran
pemerintah dalam mengendalikan inflasi harga pangan.
Pemerintah harus
bekerja keras. Tim ekonomi harus melakukan terobosan-terobosan di bidang
ketahanan pangan dan tidak hanya berkutat pada teori yang ada pada buku-buku
dan diskusi akademik. Jangan sampai, tim ekonomi Presiden Jokowi dianggap
amatir.
Juga, pemerintahan
Jokowi jangan hanya memprioritaskan gembar-gembor “negara maritim”, namun
mengabaikan pertumbuhan sektor agribisnis atau pertanian. Di laut kita jaya, di
daratan harus makmur.
Tengok kembali salah
satu program nawa cita yang didengungkan oleh Presiden Jokowi dulu saat
kampanye, “ Kami akan mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan
perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 Juta hektar sawah; 1 Juta
hektar lahan sawah baru di luar Jawa; pendirian Bank Petani dan UMKM; Gudang
dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Kami akan
melakukan langkah pemulihan kualitas kesuburan lahan yang air irigasinya
tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, penghentian konversi lahan
produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan.”
Segera realisasikan
janji itu. Karena, dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 1,66 persen per
tahun, penduduk Indonesia pada tahun 2020 diprediksi mencapai 288 juta jiwa.
Jika demikian, bisa dibayangkan peliknya masalah pangan Indonesia di masa
depan. Bersiap-siaplah.
Adi Esmawan, owner www.jurnalva.com
0 komentar:
Posting Komentar