Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bayang-Bayang Ijazah Instan

Kita kembali tersentak dengan terkuaknya jual beli Ijazah berikut gelar akademik. Tidak tanggung, yang terlibat dalam skandal memalukan ini adalah kalangan pejabat tinggi, anggota parlemen, hingga civitas akademika yang seharusnya ikut menjaga kesucian dunia pendidikan.

Mungkin, terkuaknya kasus ini di mata publik hanya fenomena puncak gunung es. Dimana pada alam nyata, jual beli ijazah dan gelar adalah hal biasa. Ini bukan hanya kepalsuan legalitas, melainkan bentuk penghinaan terhadap ilmu pengetahuan.

Dalam ranah pendidikan, gelar dan ijazah hanya dapat diperoleh jika sudah menjalani serangkaian proses yang panjang. Ia adalah simbol pengakuan kualitas keilmuan dengan tahapan-tahapan prasyarat  yang mengharuskan perjuangan dan olah kemampuan. Transkip nilai bukan hanya angka-angka semu melainkan predikat kemampuan yang sudah teruji dan terbukti.

Nah, jika gelar dan ijazah dapat dibeli dengan uang tanpa melewati serangkaian proses sebagaimana rule akademik, maka alangkah hina dunia pendidikan di negeri ini. Dimana orang-orang yang hanya “berduit”, tanpa kemampuan dan perjuangan, dapat menyandang gelar akademik.

Atau mungkin karena dunia pendidikan di negeri ini sudah kadung korup dan telah lama menyalin diri sebagai institusi korporasi. Logika yang dipakai adalah menempatkan ilmu sebagai komoditas, sedang ijazah maupun gelar adalah entitas utama. Masyarakat dan peserta didik hanyalah konsumen dengan relasi simbiosis mutualisme alias sama-sama untung.  Uang memegang daulat tertinggi.

Dalam dunia pendidikan di pesantren tradisional, ijazah hanya dapat diberikan setelah santri melewati tingkat demi tingkat atau tahapan yang tidak mudah. Serangkaian prosesi dan uji kemampuan benar-benar dilakukan dengan jujur dan menjunjung tinggi etika akademik. Maka Ijazah atau syahadah yang diperoleh merupakan bukti shahih pengakuan keilmuan.

Dalam kitab klasik yang populer di kalangan pesantren “Ta’lim Muta’alim Tharekat Ta’alum”, memposisikan ilmu pengetahuan  dengan pangkat tertinggi. Ia harus diperlakukan di atas segalanya. Ilmu sebagai hal yang tidak ternilai dan tidak akan tergadai oleh berapapun nilai uang. Maka jangan heran jika kitab ini memerintahkan pencari ilmu untuk tidak menaruh buku di tempat sembarangan, menghormati dan memuliakan guru sebagai sumber ilmu, dan  disarankan untuk dalam keadaan suci (tidak berhadast), ketika mengikuti majelis ilmu.

Dunia pendidikan umum  perlu belajar dari pesantren.
Salam inspirasi.

Author : Adi Esmawan, owner www.jurnalva.com


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support