Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Hikayat Saling Bunuh Antar Manusia


Sejarah telah mengisahkan pada kita tentang deretan tragedi pertumpahan darah antar umat manusia. Sejak dimulainya kehidupan hingga detik ini, kekerasan dan saling bunuh  adalah bumbu wajib kehidupan yang tak mungkin sirna.

Jika saban hari, kita lihat kabar di televisi tentang suasana kacau balau di negara-negara Timur-Tengah akibat dilanda konflik berkepanjangan, maka itu hanya ujung kuku dari puncak gunung es bahwa sebenarnya, kekerasan dan saling bunuh itu, adalah bagian dari tabiat manusia yang menurut filsuf agung Yunani, Plato, menyebutnya sebagai “binatang yang berfikir”.

Hikayat saling bunuh itu, mungkin diawali dengan kisah Qabil dan Habil. Dalam ajaran agama-agama samawi, kisah itu terkenal sebagai tragedi pembunuhan pertama umat manusia. Apa sebab, ternyata soal iri dan kedengkian serta berebut “kekasih” menjadi faktor utama insiden saling bunuh itu. Padahal, keduanya adalah saudara kandung.
Kebiasaan saling bunuh terus berlanjut. Dalam manuskrip kuno, prasasti, atau petunjuk sejarah, kisah terdahulu selalu mengaitkan dengan peperangan, invasi, ekspansi atau deretan pertumpahan darah mengerikan. Entahlah, sudah berapa nyawa yang meregang kesakitan akibat tebasan pedang. Sejarah tidak ada data soal itu. Maklum, tempo dulu belum ada Badan Pusat Statistik apalagi KTP Elektronik.

Waktu selalu menyajikan sejarah yang berulang. Setiap zaman selalu menyisakan tragedi. Diantara hikayat masyhur adalah soal perang antar kabillah atau suku, perseteruan antar kerajaan, hingga faktor politik dan perebutan kekuasaan.

Soal perang salib, serbuan tentara Mongolia yang memporak-porandakan peradaban Islam di kota Bagdad, revolusi Perancis, hingga Perang Dunia I dan Perang Dunia II, membangkitkan kembali kepada ingatan duka dan luka hikayat makhluk bernama manusia.

Silahkan dicari datanya, berapa korban nyawa melayang akibat rentetan peristiwa itu. Yang hendak saya sampaikan, adalah lagi-lagi, manusia mengulangi kesahalan dan terjatuh di lubang yang sama. Pasti, soal persaingan, perebutan kekuasaan, dan kerakusan hasrat menjadi motif dibalik aksi saling membinasakan umat manusia.

Di negeri bernama Indonesia yang kita tinggali ini, juga tidak lepas dari serangkaian tragedi. Tengoklah, berapa nyawa yang harus dikorbankan dalam prosesi memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Tragedi 1965, perang Sampit-Madura, tragedi 1998, penyerangan antar kelompok, hingga tawuran pelajaran dan mahsiswa serta konflik antar  kelompok masyarakat adalah contoh nyata bahwa hidup kita masih sangat dekat dengan kekerasan.

Dan, pembunuhan atau kekerasan yang mengancam jiwa bukan hanya dilakukan pada kelompok. Bisa jadi, individu atau perseorangan menjadi korban aksi keji manusia. Fenomena begal, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, adalah contoh bahwa bayang-bayang kekerasan akan dapat menimpa siapa saja dan dimana saja.

Maka, jika anda orang baik. Kemudian sedang berjalan di jalan raya dan ada sekawanan pemuda yang menyerang anda hingga nyawa melayang, kepada siapa harus mengadu? Polisi, jaksa, hingga pengadilan tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa  anda.

Kematian adalah keniscayaan. Namun seribu cara untuk mati, itu yang jika dibayangkan sungguh teramat mengerikan. Semoga, kita diwafatkan bersama-sama orang baik dan dalam keadaan baik.

Salam Inspirasi


Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support