Sejarah adalah
kenangan berharga yang harus dijadikan pelajaran oleh generasi penerus. Indonesia dibangun
dengan pengorbanan darah, jiwa dan kobaran semangat juang para pahlawan. Tanpa
mereka, entah seperti apa wajah Indonesia kita.
Hari ini, tepat 1
Maret 2015. Mengingatkan kembali peristiwa yang oleh rezim Soeharto disebut
sebagai kejadian maha penting. Tepat enam puluh enam tahun lalu, tanggal 1 Maret 1949, TNI melakukan
serangan umum satu Maret. Sebuah peristiwa yang turut menentukan sejarah
bangsa.
Peristiwa itu bermula
oleh agresi militer Belanda yang meluluh lantakan lapangan udara Maguwoharjo
(sekarang Bandara Adi Sucipto). Dilanjukan serangan bertubi-tubi hingga kota
Yogyakarta yang dijadikan ibu kota negara pada saat itu, dikuasai Belanda.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ditangkap oleh Belanda.
Republik Indonesia
yang baru berumur empat tahun dalam keadaan genting. Pemimpin Angkatan
Bersenjata, Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan maklumat perang
gerilya. Saat itu, penanggungjawab militer di wilayah Yogyakarta adalah Letnan
Kolonel Soeharto
Atas insiden ini,
Belanda meminta Republik Indones bubar karena Presiden dan Wakilnya sudah
ditangkap. Namun ternyata, sesaat sebelum ditangkap Soekarno mengirimkan surat
kawat kepada Amir Syarifudin yang saat itu berada di Sumatera untuk mendirikan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Tentara Nasional
Indonesia tentu saja tidak tinggal diam. Letkol Soeharto segera menyusun
rencana setrategis untuk melancarkan aksi balas dendam. Akhirnya pada subuh, 1
Maret 1949, Soeharto memimpin langsung pasukan untuk menyerang Belanda.
Entah apa maksud
Soeharto. Mungkin untuk menandai pasukan atau sebagai sandi, sehingga setiap
prajurit diminta mengenakan janur kuning sebagai simbol. Hingga pasukan itu
dikenal dengan sebutan pasukan janur kuning.
Alhasil, Belanda
kocar-kacir. TNI dapat menguasai kota hingga enam jam sebelum digempur kembali
oleh Belanda. Dan dampak dari peristiwa ini sungguh luar biasa. Dunia
Internasional mengecam agresi militer Belanda. Dan pernyataan Belanda bahwa
Republik Indonesia sudah bubar seakan terbantahkan dengan peristiwa serangan
umun satu maret. Belanda dipermalukan.
Akhirnya, PBB
mendesak Indonesia dan Belanda melakukan perundingan diplomatik. Presiden dan
Wakilnya dibebaskan. Kemudian diadakan perjanjian Roem – Royen dan diteruskan
dengan Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda. Indonesia diakui kedaulatan
dan kemerdekaanya.
Itulah sekelumit
kisah tentang serangan umum satu Maret 1949. Namun sejak rezim Soeharto
tumbang. Kisah ini seakan dihapus dan tidak lagi mendapat tempat. Bahkan ada
yang dengan tega memfitnah Soeharto, bahwa dia justru bersembunyi dan makan
soto babat di warung. Atau ada yang mengatakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
yang jadi pimpinanya, bukan Soeharto.
Pendapat tersebut
jelas tanpa dasar. Tidak semua sejarah yang ditulis oleh Orde Baru adalah
salah. Buktinya, pasca kejadian itu, karir Soeharto di militer terus
melejit. Bahkan oleh Soekarno di
kemudian waktu, ia diangkat sebagai Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Berarti sistem karir mengakui bahwa Soeharto berjasa. Tidak mungkin Angkatan
Darat sepakat berdusta
Juga tentang Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau tidak pernah membantah bahwa pemimpin serangan umum 1 Maret
adalah Soeharto. Dan jangan lupa, Sri Sultan HB IX adalah wakil Presiden RI
yang kedua dan mendampingi Soeharto. Jadi, jangan hanya karena trauma terhadap Orde Baru, kita menjadikan
Soeharto serba salah dan serba hitam. Itu adalah penyelewengan sejarah.
Penulis : AdiEsmawan, Pengasuh Jurnal Inspirasi
0 komentar:
Posting Komentar