Ingin ku ungkapkan dalam secarik puisi, rindu yang
tak tertahankan padamu ayah. Rindu yang mungkin tinggal hanya kerinduan. Ingin
aku kabarkan padamu ayah, hasil panen padi dan singkong melimpah tahun ini. Ingin
aku basuh peluhmu di kerut wajahmu dan kubuatkan kopi manis untukmu, ayah.
Aku seperti mimpi, ketika kabar duka itu datang melalui
telephon pak RT di senja kala menjelang magrib waktu itu. “Dik, segera pulang,
ayahmu mengalami kecelakaan, beliau sudah tidak ada”, begitu bunyi suara serak
Pak RT di ujung telephon.
“Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin secepat ini”,
jeritku kalang kabut. Aku menangis sejadi-jadinya hingga teman-teman di kamar
sebelah mengerubungiku. Hamid, teman sekampungku memeluk dan menepuk pundakku. “Aku
turut berduka atas musibah ini, Tuhan telah menggariskan semuanya. Mari, kita
bergegas pulang. Tabahkan hatimu”, bisikan Hamid membuatku sedikit berpikir
jernih.
Pengurus asrama pondok mengantarkan kami pulang
kampung. Sepanjang perjalanan, hatiku kalut, jiwaku remuk dan mataku tak
henti-hentinya melinangkan air mata. Ayah, harapanku satu-satunya. Ia yang
mengasuh hidupku sejak kecil pasca meninggalnya ibu saat melahirkanku di dunia.
Beliau tetap setia hingga memutuskan tidak menikah lagi. Kini aku kehilangannya
untuk selamanya. Secepat ini.
Tiba di rumah, ku lihat bendera putih simbol lelayu teronggok
lesu di depan rumah. Para tetangga, kerabat, dan sanak saudara yang sedari tadi
menunggu kedatanganku langsung menoleh ke arah mobil kami. Begitu aku keluar
dari mobil, pelukan paman Sartobi langsung menghampiriku.
“Kuatkan hatimu Nak. Masih ada Paman dan Bibimu di
sini”, bisik paman. Aku terus melangkah cepat melewati beberapa pelayat yang
memandangku dengan nelangsa. Begitu sampai ruang tamu, ku lihat sosok yang
paling aku sayangi terbaring sepi. Dengan pilu, ku buka selubung yang menutupi
wajahnya. Aku tidak kuat. Aku menangis disertai pening di kepalaku. Kemudian
aku tak ingat apa-apalagi. Ya, benar. Aku pingsan.
***
Ayahku seorang pekerja keras. Sehari-hari, ia
menjadi buruh tani di sawah Haji Dullah Kamari. Beliau juga beternak beberapa
kambing sebagai pekerjaan sambilan. Jadi, ngarit adalah aktvitas rutin selain
menggarap sawah.
Di mata tetangga dan warga kampung, ayahku adalah
sosok yang dituakan. Maklum, ayah adalah tokoh agama dan imam mushola kecil di
dukuh kami. Prinsip dan ajaran hidupnya soal agama tak bisa di tawar lagi.
Mungkin karena sebab itu, setelah lulus sekolah dasar aku dikirimkan ke pondok
pesantren.
Masih sangat hinggap dalam ingatan. Ketika ayah
membangunkanku di pagi saat adzan shubuh berkumandang. Beliau yang menuntunku
penuh kasih menuju pancuran bambu untuk berwudhu dan melaksanakan shalat jama’ah di mushola tua
dukuh kami.
Setelah itu, biasanya beliau menyuruhku belajar
atau menggarap PR. Sementara ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan sederhana
sebelum aku berangkat sekolah. Dan yang tidak pernah terlupakan adalah nasehat beliau
yang sering diulang-ulang “kamu harus jadi orang baik dan manfangat, nak. sekolah
yang rajin”.
Sebuah petuah sederhana namun dalam akan makna.
Dulu ayah juga pernah mengisi kultum di mushola yang mengajarkan tentang
jenis-jenis manusia yang jumlahnya ada tiga. Pertama, adalah jenis manusia makruh.
Yaitu manusia yang kehadiranya tidak memberikan apa-apa pada kehidupan. Ia
adalah manusia pada umumnya, ada dan tidaknya ia tidak begitu penting bagi
sejarah.
Jenis kedua adalah manusia haram. Ia yang
kehadirannya di dunia justru menjadi bencana bagi sesama. Adalah
manusia-manusia yang suka merugikan orang lain, bertindak kekerasan, membunuh,
para pencoleng, bandit, koruptor dan para benalu hidup lainya.
Jenis manusia ketiga adalah manusia wajib. Dimana
kehadiranya sangat bermanfaat bagi kehidupan sesama. Ia yang tanpa nir pamrih
mengajarkan ilmunya. Manusia yang banyak memberi daripada penerima, para abdi
negara, pahlawan dan juga lentera teladan kehidupan.
Contoh manusia wajib adalah kuli bangunan. Ia yang
rela menghidupi keluarganya dengan nafkah yang halalan thayiban. Kehidupanya
adalah pahlawan bagi keluarganya. Juga tukang ngarit seperti ayahku. Ia yang
tetap setia dalam keterbatasan demi kasih sayang pada sang putra tunggal.
***
Malam ini, ku ingat kembali semua kisah dan
kenangan bersama ayah. Sosok teladan hidupku. Kupandangi foto hitam putih yang
sudah buram sebagai satu-satunya kenangan. Maafkan aku ayah, aku belum menjadi
manusia baik dan bermanfaat seperti pesan ayah.
Dalam kesenduan dan kerinduan, ingin aku nyanyikan
lagu titip rindu buat ayah karya Ebiet G. Ade :
Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat dikeningmu
Kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah...
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin syarat
Kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk..
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar kau tetap setia
Ayah.. dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Ya, benar sekali. Anakmu kini banyak menanggung
beban.
Tempuran, 15 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar