Guru adalah profesi
yang bukan sembarang profesi. Ya, guru memang istimewa, karena semua
bidang, baik profesi, jabatan tinggi, pangkat jenderal, tidak akan diperoleh
tanpa jasa dan peran dari seorang guru.
Baca saja biografi dari pemimpin besar, pasti motivator utama adalah seorang guru yang idealis dan hanya memiliki satu tedensi, mencerdaskan peserta didik. Namun, di pergumulan masyarakat kontemporer yang mengedepankan gaya hidup mewah, materialis-hedonis, masih adakah guru yang punya idealisme dan dapat mengantarkan peserta didiknya menjadi orang besar? Mungkin hanya bapak dan ibu guru yang mengerti jawabanya.
Faktanya, guru di zaman ini jika dikomparasikan dengan guru pada masa rezim Orde Baru sangat berbeda jauh. Guru di zaman kini seakan terjebak dalam pragmatisme sempit, dari tendensi mencerdaskan peserta didik beralih hanya tendensi meluluskan peserta didik. Pelita dalam kegelapan dan laksana embun penyejuk dalam kehausan, kini bersalin rupa menjadi tenaga profesional yang bekerja berdasarkan nalar industri : suplay and demand.
Komersialisasi
pendidikan telah nyata di depan mata, meskipun Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) menjadi tulang punggung keberlangsungan sekolah di penjuru nusantara.
Namu hadirnya program akreditasi sekolah, sertifikasi ISO, Ujian Nasional, dan
Tunjangan Profesi guru menambah deretan runyam arah, tujuan, dan filosofi
pendidikan kita. Guru, yang dari pahlawan tanpa tanda jasa menjadi pahlawan
yang selalu menuntut kesejahteraan karena ketidakadilan manajemen guru PNS dan
Non PNS (honorer dan wiyata bhakti)
Perbedaan lain yang
paling mencolok adalah dari mendidik menjadi hanya sekedar mengajar, bahkan
guru di zaman ini hanya sebagai penyambung lidah modul (buku paket) yang
disampaikan pada peserta didik.
Mungkin karena pendidikan sekarang lebih berorientasi demikian, dimana pendidikan hanya berkutat pada pembenahan proses belajar-mengajar (kurikulum) dan lomba antarsekolah yang dikemas dalam bentuk akreditasi yang hanya mementingkan kuantitas pengajaran (bukan kualitas pendidikan) dan menyingkirkan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri.
Lihatlah, banyak guru yang hanya pusing membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, atau komponen akreditasi lain, yang sebenarnya sangat simbolik-formalistik. Belum lagi urusan administratif-prosedural yang memberikan tugas tambahan pada guru seperti entri DATADIK, DAPODIK, EMIS, NUPTK dan lain-lain
Hasilnya, jerih payah dari seorang guru hanya berupa selembar ijazah. Dan budaya yang penting ijazah disadari atau tidak telah mematikan idealisme para guru dan juga siswa. Mungkin perlu kita renungkan kembali apa yang dikatakan Bapak Fuad Hasan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Mendiknas ) era Orde Baru dulu.
Beliau memberi nasihat yang menurut saya sangat arif, yaitu perlu dibedakan antara mendidik dan mengajar, meluluskan dan membentuk karakter. Jika hasil mengajar adalah pengetahuan (yang hanya sekedar tahu), tetapi hasil mendidik adalah pengetahuan sekaligus pribadi yang berkualitas. Satu lagi petuah sekaligus pertanyaan Pak Fuad, bukankah implementasi dari pendidikan adalah kebudayaan?
Makanya dulu di zaman Soeharto, pendidikan ideologi dan moral sangat digalakkan. Sedangkan sekarang, kita menjadi sok pintar dengan mengajarkan sesuatu tidak pada porsinya, sehingga anak kelas dua sekolah dasar sudah diberi materi yang muluk-muluk tapi sebenarnya tidak perlu.
Akhirnya kita melihat ada lulusan yang bernilai akademik tinggi tapi berkarakter bobrok. Di sinilah kaum guru dituntut untuk memberikan peran mengenai bagaimana membentuk karakter peserta didik dan kembali membangun kultur bahwa guru adalah teladan yang wajib dihormati karena sesuai adagium orang Jawa yang populer, digugu Ian ditiru.
Guru seharusnya
menjelma sebagai seorang resi atau begawan, yang menempa dan mengajarkan
peserta didiknya berbagai tingkat keutamaan dan keluhuran selain keterampilan
hidup dan tuntutan penguasaan teknologi. Karena, benteng akhir peradaban dan
identitas bangsa Indonesia ada pada sikap dan budayanya. Bukan kita yang harus
tergerus budaya dan cara hidup dari luar.
Penulis : Adi
Esmawan, Lahir dan Besar di Wanayasa, Banjarnegara
Tulisan ini pernah di
publikasikan Adi Esmawan di Harian Suara Merdeka edisi 01 November 2010
0 komentar:
Posting Komentar