Jumlah penduduk saban
hari terus bertambah. Populasi manusia yang tumbuh dengan pesat ini, tentu saja
membutuhkan ruang untuk tempat tinggal sekaligus lahan kehidupan. Dan kita
mafhum betul, bahwa luas bumi ini tidak akan bertambah walau sejengkal. Sebaliknya,
kerusakan lingkungan justru membuat bumi kita kian sempit, baik oleh kikisan air
laut dengan bertambahnya garis pantai maupun tenggelamnya pulau seiring
berjalan waktu.
Demi penghidupan
manusia, berdasarkan rappid assesment yang dilakukan oleh Bank Dunia pada
2008 silam, tiap harinya sekurang-kurangnya 2 hektar lahan dibakar atau digusur
untuk kepentingan manusia. Entah itu untuk membangun kawasan properti baru,
untuk perkebunan, maupun pembangunan areal industri dan jalan tol.
Tidak bisa
dipungkiri, bahwa manusia menghendaki semakin membaiknya kualitas hidup dan
kesejahteraannya. Namun, mengesampingkan keseimbangan lingkungan hidup (environment
equilibrium) akan merugikan manusia itu sendiri dalam jangka panjang.
Kita tidak tahu,
bagaimana kondisi iklim dan cuaca di tahun 2020 mendatang. Apakah benar ramalan
para ahli, bahwa ibu kota Jakarta akan tenggelam? Soal lumpur Lapindo di
Sidoarjo yang belum berhenti menyemburkan lumpur. Soal erosi, abrasi, dan
serangan hama pertanian akibat banyaknya penggunaan unsur kimiawi. Juga soal curah
hujan yang entah bagaimana banyaknya akibat siklus hidrologi yang tidak lagi
seimbang. Bencana-bencana lain yang
ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan juga merupakan ancaman maha serius bagi
kelangsungan hidup manusia.
Kita hanya bisa
diskusi panjang dan menduga-duga, betapa ruwet dan kompleks permasalahan
lingkungan di warsa 2020 mendatang. Mungkin langkah sederhana dengan tetap arif
mencintai lingkungan dan terus berdo’a, adalah ikhtiar menjaga bumi agar tetap
lestari.
Lihat Juga :
Menyelamatkan Bumi di Menit Terakhir
Penulis : Adi
Esmawan- Penggiat Lingkungan dan Kebudayaan
0 komentar:
Posting Komentar