Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Indonesia  telah menapaki tangga demi tangga  sejarah hingga hari ini. Dalam kehidupan yang riuh, peradaban dunia yang angkuh, Indonesia menempatkan diri dalam percaturan politik dunia. Tapi catatan waktu perjalanan bangsa ini tidak akan pernah melupakan dua nama besar pemimpin negeri , yakni Soekarno dan Soeharto. Keduanya adalah bagian dari perjalanan  bangsa ini, lengkap dengan jasa dan alpa.

Di era reformasi kini, banyak dari kita yang tidak begitu jernih memandang sejarah. Sehingga hobi sekali mencari cela, salah dan dosa para pemimpin kita sendiri. Bumbu-bumbu kepentingan, golongan, gerbong partai, ideologi dan pandangan berfikir kadang membuat kita tidak adil dalam menempatkan dua tokoh besar bangsa ini. Mari, kita membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia kita dengan mencoba sejernih dan seadil-adilnya.

Nama besar Presiden RI pertama, Achmad Soekarno atau yang lebih populer dengan sebutan Bung Karno tidak akan pernah terkikis oleh laju sejarah. Seorang visioner dengan gagasan cemerlang, dan nasionalisme yang tinggi ini terlahir di kota Blitar, Jawa Timur. Julukan  Putra Sang Fajar melekat pada diri beliau karena keajaiban konsep yang dibawanya.

Pada masa penjajahan, konsep menakjubkan yang ditunjukan Soekarno adalah sidang terkenal saat orasi dihadapan majelis hakim yang terkenal dengan sebutan “Pledoi Bung Karno”. Inilah awal kepemimpinan beliau mendapat sorotan di mata para penggagas berdirinya NKRI.

Soekarno adalah ikon Indonesia, mungkin hingga detik ini. Sumbangsihnya bagi bangsa tidak perlu diragukan lagi. Namun, sejarah harus berlaku adil. Kita tidak bisa menganut faham kultus individu dengan menempatkan figur tanpa cela. Agar generasi dapat belajar dan mengambil inspirasi.

Ya, di balik kebesaran dan gagasan besar dari Soekarno, tetaplah beliau adalah manusia biasa. Tentu, beliau memiliki ambisi politik, dan ambisi adalah bicara soal kepentingan yang kadang melabrak prosedur,  etik, hukum, dan inkonsisten. Kita harus membaca, mengetahui dan memahami soal penyelewengan Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin, soal presiden seumur hidup, menunjuk anggota MPR sebagai menteri agar dibawah kendalinya, hingga soal penyimpangan ideologi yang digagas oleh beliau sendiri, yakni Pancasila.

Adopsi ideologi komunis yang terintegrasi dalam ide Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom), jelas-jelas menodai sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Ideologi komunis jelas berseberangan dengan nilai-nilai religius dan budaya asli bangsa Indonesia. Namun karena pendirian beliau yang kuat dan sangat idealis, Bung Karno menjadikan konsep Nasakom sebagai jargon andalan. Hal inilah yang membuat beliau ragu untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) meskipun didesak oleh rakyat dan mahasiswa, pasca G-30-S/PKI pada tahun 1965.

Soekarno adalah pahlawan, proklamator dan ide dari sebuah bangsa bernama Indonesia. Mari sebagai generasi yang baik, kita menempatkanya dengan proporsional dalam kancah sejarah semesta. Tidak mencari cela dan tidak pula mengkultuskanya. Setiap figur memiliki plus dan minus-nya masing-masing.

Kedua, adalah membaca Soeharto. Seorang putra rakyat biasa yang berkarir dari prajurit sampai jenderal ini, adalah Pemimpin yang telah membawa banyak perubahan dan kebaikan, terlepas dari kontroversi dan kealpaan rezimnya yang berkuasa selama tiga dasa warsa.

Dari sisi track record, salah satu Jenderal Besar yang dimiliki oleh republik ini layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Soeharto mengalami dan melakoni fase demi fase perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, hingga masa revolusi dan pembangunan.

Mulai dari perang gerilya, menjadi pengawal/ mendampingi Panglima Besar Jenderal Soedirman, memimpin serangan umum 1 Maret 1949, hingga memegang Komando Mandala  Pembebasan Irian Barat, adalah sumbangsih nyata yang melebihi persyaratan sebagai pahlawan nasional.

Sayang, pasca tumbangnya Soeharto pada tahun 1998, ia hanya mendapatkan badai gunjingan dan semakin tersudutkan di panggung sejarah. Mulai dari tuduhan korupsi dan punya rekening di bank Swis (yang sampai saat ini tidak ada dalil shahih yang dapat membuktikan), pelanggaran HAM, hingga tuduhan kudeta dan pembunuhan lebih dari setengah juta anak bangsa. Benarkah?

Sebagai pemimpin dan anak bangsa, secara logika dan nalar lahiriah, Soeharto pasti berkeinginan membawa bangsa ini ke arah lebih baik. Jika kita telaah lebih jauh, isu kudeta merangkak yang entah dihembuskan oleh siapa adalah lemah dan tidak berdasar. Apalagi jika dasarnya adalah dokumen luar negeri, sejauh manakah kita dapat mempercayai?

Tuduhan pertama, Soeharto adalah dalang kudeta karena tidak masuk daftar target G-30-S/PKI. Ini ngawur, karena banyak Jenderal lain juga tidak masuk daftar target. Lagi pula, Jenderal AH. Nasution yang lolos dari penculikan, justru kemudian berlindung ke Kostrad dan minta perlindungan Pak Harto. Artinya, integritas Soeharto dan Kostrad dapat dipercaya bersih dari pengaruh PKI.

Bantahan kedua, adalah peningkatan karir Soeharto pasca 1965 yang justru melonjak tajam. Jika ia adalah dalang dan berencana mengkudeta Presiden, mengapa pemimpin besar revolusi Bung Karno justru memberikan jabatan Pangkobkamtib dan Menteri Panglima Angkatan Darat, kemudian menaikan pangkatnya menjadi Jenderal Penuh?

Ingatlah, bahwa pemerintahan Soekarno memiliki dinas intelijen yang dikomandoi langsung oleh Wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio. Tentu sudah ada alarm jika memang Soeharto dianggap membahayakan rezim Soekarno. Nyatanya, Bung Karno justru memberikan berbagai amanah kepadanya.

Tuduhan berikutnya adalah soal Surat Perintah sebelas Maret (Supersemar) yang dianggap sebagai kudeta. Ini kengawuran nyata-nyata. Bung Karno dalam pidatonya jelas menyatakan bahwa Supersemar bukan mandat peralihan kekuasaan. Bahkan, supersemar justru memerintahkan Soeharto untuk mengamankan kewibawaan dan ajaran Presiden/Pangti ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Langkah Soeharto yang membubarkan PKI dengan dasar supersemar sebenarnya adalah untuk mengakomodasi tuntutan rakyat dan mahasiswa yang berdemonstrasi. Bung Karno yang tidak berani membubarkan PKI dan membekukan Universitas Indonesia, justru akan semakin tersudut di mata rakyat.

Proses peralihan kekuasaan justru terjadi ketika MPRS menolak pidato pertanggungjawaban Presiden yang terkenal dengan judul NAWAKSARA. Setelah itu, MPRS mencabut mandat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden. Dan itu adalah sah secara konstitusi dan punya legalitas hukum di masa itu. Manakah yang layak disebut sebagai kudeta?

Kemudian, soal pembantaian terduga PKI di berbagai pelosok negeri. Perlu diketahui, bahwa peristiwa ini adalah sejarah kelam bangsa Indonesia. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh tindakan PKI dan ormasnya yang provokatif, keji, menteror, dan menebar kekerasan.

Sejarah mencatat bagaimana kekejaman PKI terhadap umat Islam di Jawa Timur, peristiwa Kanigoro, Bandar Betsi dan lain-lain sebagainya yang merupakan aksi sepihak PKI. Dilanjutkan dengan pembunuhan keji terhadap para Jenderal dan lawan politik. Dan tentu saja, peristiwa ini memancing dendam di hati rakyat pasca pembubaran PKI oleh angkatan darat.

Jadi, peristiwa saling bantai ini adalah peristiwa sistematis yang sulit dibendung. Seharusnya yang paling bertanggungjawab atas peristiwa ini adalah Bung Karno yang waktu itu masih memegang kekuasaan. Sudahlah, peristiwa ini telah lama berlalu, biarkan Indonesia menempatkanya dalam kancah sejarah semesta.


Indonesia kita saat ini bukan lagi bicara soal isu kekerasan dan bantai membantai. Indonesia sudah melangkah jauh menuju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih mapan ditengah kompetisi bangsa yang kian ketat. Melanjutkan perjuangan dan warisan luhur pemimpin pendahulu kita. Ya, beliau Bung Karno dan Pak Harto. Keduanya adalah kebaikan untuk Indonesiaku. 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support