Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah
Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...
Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur
Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..
Programer : Seniman Tingkat Tinggi?
Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang
Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita
Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya
Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?
Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.
Waspada, Indonesia Darurat Begal!
22 Situs Islam Diblokir, Ada Apa?
Spiritual : Jangan Biarkan Ruhanimu Mati!
Dalam kemayaan riang, manusia menikmati laju waktu tanpa beban. Seperti arus air, berlari dan mengalir. Tapi semua itu bermuara pada satu kepastian : hidup akan selesai.
Membaca Sumbangsih SBY di Panggung Indonesia
Earth Hour 2015 : Besok, Matikan Listrik Satu Jam!
Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita
Juragan Pisang Gaji Manajer
Jurnal Kebudayaan : Memprediksi Dendam Alam
Waspada Krisis Air, Berhematlah!
Yang Tersisa dari Lee Kuan Yew dan Soeharto
Keistimewaan Guru yang Kini Hampir Punah!
Baca saja biografi dari pemimpin besar, pasti motivator utama adalah seorang guru yang idealis dan hanya memiliki satu tedensi, mencerdaskan peserta didik. Namun, di pergumulan masyarakat kontemporer yang mengedepankan gaya hidup mewah, materialis-hedonis, masih adakah guru yang punya idealisme dan dapat mengantarkan peserta didiknya menjadi orang besar? Mungkin hanya bapak dan ibu guru yang mengerti jawabanya.
Faktanya, guru di zaman ini jika dikomparasikan dengan guru pada masa rezim Orde Baru sangat berbeda jauh. Guru di zaman kini seakan terjebak dalam pragmatisme sempit, dari tendensi mencerdaskan peserta didik beralih hanya tendensi meluluskan peserta didik. Pelita dalam kegelapan dan laksana embun penyejuk dalam kehausan, kini bersalin rupa menjadi tenaga profesional yang bekerja berdasarkan nalar industri : suplay and demand.
Mungkin karena pendidikan sekarang lebih berorientasi demikian, dimana pendidikan hanya berkutat pada pembenahan proses belajar-mengajar (kurikulum) dan lomba antarsekolah yang dikemas dalam bentuk akreditasi yang hanya mementingkan kuantitas pengajaran (bukan kualitas pendidikan) dan menyingkirkan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri.
Lihatlah, banyak guru yang hanya pusing membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, atau komponen akreditasi lain, yang sebenarnya sangat simbolik-formalistik. Belum lagi urusan administratif-prosedural yang memberikan tugas tambahan pada guru seperti entri DATADIK, DAPODIK, EMIS, NUPTK dan lain-lain
Hasilnya, jerih payah dari seorang guru hanya berupa selembar ijazah. Dan budaya yang penting ijazah disadari atau tidak telah mematikan idealisme para guru dan juga siswa. Mungkin perlu kita renungkan kembali apa yang dikatakan Bapak Fuad Hasan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Mendiknas ) era Orde Baru dulu.
Beliau memberi nasihat yang menurut saya sangat arif, yaitu perlu dibedakan antara mendidik dan mengajar, meluluskan dan membentuk karakter. Jika hasil mengajar adalah pengetahuan (yang hanya sekedar tahu), tetapi hasil mendidik adalah pengetahuan sekaligus pribadi yang berkualitas. Satu lagi petuah sekaligus pertanyaan Pak Fuad, bukankah implementasi dari pendidikan adalah kebudayaan?
Makanya dulu di zaman Soeharto, pendidikan ideologi dan moral sangat digalakkan. Sedangkan sekarang, kita menjadi sok pintar dengan mengajarkan sesuatu tidak pada porsinya, sehingga anak kelas dua sekolah dasar sudah diberi materi yang muluk-muluk tapi sebenarnya tidak perlu.
Akhirnya kita melihat ada lulusan yang bernilai akademik tinggi tapi berkarakter bobrok. Di sinilah kaum guru dituntut untuk memberikan peran mengenai bagaimana membentuk karakter peserta didik dan kembali membangun kultur bahwa guru adalah teladan yang wajib dihormati karena sesuai adagium orang Jawa yang populer, digugu Ian ditiru.
Yang Terlupakan dari Banjarnegara
(Senja beranjak malam di Desa Wanaraja, Banjarnegara- Jawa Tengah) |
Untuk souvenir dan karya dari industri kreatif, ada kerajinan keramik dari Purwareja-Klampok Banjarnegara yang sudah menembus pasar ekspor. Motif keramik yang khas dan kualitas high level, sangat cocok sebagai buah tangan untuk menambah keindahan interior rumah anda.