Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Pilkades dan Telaah Kritis Terhadap Praktik Berdemokrasi

Sejatinya, desa adalah miniatur negara. Atau dalam ranah penelitian (research), desa merupakan sample atau contoh rill bagaimana kita menilai praktik berdemokrasi di negeri ini. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), adalah cerminan paling nyata dari apa dan bagaimana sesungguhnya pemilihan   umum di tingkat yang lebih tinggi, yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Jika kita telaah lebih dalam, sebenarnya proses demokrasi di negeri ini masih jauh dari harapan.  

Mari kita belajar dari prosesi pemilihan kepala desa. Dan kebetulan, 5 Oktober mendatang, desa Tempuran Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara, akan melaksanakan hajat akbar, yakni memilih kepala desa sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara spesifik penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 43 Tahun 2014  dan dijabarkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014.

Dalam praktik pemilihan kepala desa, yang kita dapati pertama kali adalah tradisi politik “modal tinggi”. Siapapun yang ingin mengabdikan diri sebagai kepala desa, harus memiliki kantong tebal sebagai prasyarat utama. Mungkin ini sebagai konsekuensi logis proses demokrasi biaya tinggi. Untuk ukuran saat ini, seorang calon Kepala Desa harus mengeluarkan minimal 50 – 100 juta. Nominal itu diantaranya untuk membayar ongkos resmi pembiayaan Pilkades yang dibebankan kepada calon, biaya sosialisasi (banner & baliho), serta konsumsi dan rokok untuk para tamu dan simpatisan sang calon kades.

Sangat ironis, dimana panitia penyelenggara biasanya membebankan sebagian besar biaya penyelenggaraan Pilkades kepada para calon. Seakan-akan, yang berkepentingan hanya calon kepala desa. Padahal, yang paling berkepentingan seharusnya adalah masyarakat.

Jika calon kepala desa sudah “dituntut” untuk mengeluarkan modal tinggi, maka yang terjadi adalah logika ekonomi. Dimana setelah menjabat sebagai kepala desa, yang dipikirkan pertama kali bukanlah bagaimana membangun desa agar semakin maju, melainkan bagaimana “cepat balik modal”. Dan inilah  salah satu faktor tumbuh suburnya budaya korupsi di negeri ini.
Juga di level kepala daerah. Sekarang berapa gaji “resmi” Bupati, Walikota, Gubernur, dan Presiden? Lalu bandingkan berapa besarnya biaya politik yang mereka keluarkan saat kampanye. Silahkan dikalkulasi. Kemudian kita akan bertanya-tanya, uang darimana? Sumbangan siapa? Jika demikian, independen-kah pemimpin kita? Atau ada “iktikad” balas jasa kepada para donatur kampanye? Ah, sudah. Lupakan. Kembali ke Pilkades.

Seharusnya, untuk menjaring calon pemimpin berkualitas, berintegritas, dan penuh semangat membangun desa, maka seluruh biaya Pilkades dibebankan kepada masyarakat dengan dibantu pemerintah daerah. Dalam pemendagri 112 pasal 48 huruf (a) dan (b), jelas disebutkan bahwa pembiayaan  Pilkades dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kota meskipun khusus untuk kebutuhan pada saat pemungutan suara. Nah, sisanya digotong ramai-ramai oleh masyarakat desa. Pasti ringan. Atau agar masyarakat tidak terbebani, bisa juga dianggarkan dalam APB Desa.

Sehingga, bakal calon kepala desa yang “berkualitas” namun tidak punya uang, bisa ikut berkompetisi dalam pilkades. Juga logika “balik modal” dapat dihindari. Karena masyarakat yang membiayai proses demokrasi, maka setelah menjabat kepala desa memiliki “beban moral” yang tinggi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat.


Sayang, hajatan demokrasi dari tingkat desa sampai level nasional selalu saja “mengajarkan” masyarakat untuk melakukan politik pragmatis. Mudah-mudahan di desaku tercinta tidak ada lagi yang namanya intimidasi, pemaksaan hak pilih, “serangan fajar” apalagi bagi-bagi amplop secara terbuka. Kemudian semua rangkaian proses demokrasi dapat berjalan dengan damai, dewasa, dan mengedepankan persaudaraan di atas segalanya.

Adi Esmawan, owner jurnalva.com




Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support