Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Menafsirkan Emha Ainun Nadjib


Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disebut “Cak Nun” adalah “teks” yang multitafsir. Pemikiran-pemikiran beliau yang tertuang dalam bahasa tulisan (inscription) selalu menggelitik pembacanya untuk menguliti, mendalami, merenungkan, dan merefleksikanya dalam praktik kebe-ragamaan dan kebudayaan. Acap kali, tulisan-tulisan beliau keluar dari rel baku paradigma ke-Islaman dan kebudayaan yang sudah terpatri sebagai praktek keseharian masyarakat kita. Tapi itulah keindahan sekaligus nilai tambah tulisan-tulisan Cak Nun.

Perjumpaan pertama penulis dengan karya beliau bermula dari buku jadul “Jogja Indonesia, Pulang-Pergi”. Buku terbitan tahun 1999 itu dikemas dengan bahasa yang renyah, gurih, humoris tapi menyimpan makna yang begitu dalam. Itulah khas tulisan Cak Nun.


Buku yang dengan apik mendeskripsikan tentang Yogyakarta di era reformasi ini mengajak para pembaca untuk menyelami lebih jauh lautan hikmah di balik “Jogjakarta” secara kultur-history, hingga kritik sosial dan juga soal pembunuhan wartawan Bernas bernama “Udin” yang legendaris dan belum terungkap hingga sekarang itu.

Jika membandingkan tulisan Cak Nun dengan cendekiawan Nurcholis Madjid (Cak Nur), maka perbedaanya terletak pada gaya bahasa dan “kemasan tulisan”. Nurcholis Madjid cenderung ilmiah, sistematis, dan melalui pendekatan empiris yang normatif. Maklum, beliau orang akademik (Rektor Universitas Paramadina). Sedangkan tulisan Cak Nun begitu mengalir, humoris, merefleksikan bahasa keseharian dan kadang sangat puitis dengan perpaduan sastra tingkat tinggi. Meski kadang tulisan Cak Nun juga sangat “ekstrem” dan “galak” jika sudah menyangkut “suatu hal”. Meskipun begitu, tulisan Cak Nun juga tidak kehilangan “nuansa ilmiah-nya”.

Tulisan-tulisan beliau di laman www.caknun.com, atau di media nasional juga sangat khas. Terkadang, membaca judulnya saja sudah antik dan menarik. Isinya kadang memeras otak mirip pengisian teka-teki silang. Pendalaman maknanya sangat kental dan parsial. Jadi tulisan Cak Nun itu tidak ada yang “ngecamprang” alias normatif. Semua tulisanya berbobot bahkan bobotnya terlalu berat.

Mari kita menengok pandangan-padangan beliau soal ke-Islaman dan dialektika kebudayaan. Setiap tulisan-tulisan beliau, pasti yang diperjuangkan adalah “nilai”, bukan simbolik – formalistik. Agama adalah nilai kasih sayang, hingga masalah “sepele” macam menyingkirkan rintangan di jalan saja sudah mendapatkan kredit dari Tuhan. Kemudian penekanan kembali bahwa agama adalah wilayah “keyakinan”. Karena itu, keyakinan sangatlah personal. Karena keyakinan “saya” dengan keyakinan “anda” tidak mungkin sama persis. Keyakinan itu diaplikasikan lewat perbuatan, bukan ucapan belaka. Anda boleh saja berucap syahadat satu hari seratus kali, tapi anda belum tentu benar-benar “bersyahadat”. Dan itu yang tau hanya anda dan Tuhan sendiri.

Dalam meyakini sebuah ajaran agama, setiap pemeluk agama pasti meyakini agama yang dianutnya adalah benar, yang lain salah. Tapi itu tidak perlu diungkapkan kepada orang lain, utamanya pemeluk agama lain. Ketika kita umat Islam meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar, maka seperti itu pula keyakinan pemeluk-pemeluk agama lain, atau aliran-aliran lain. Jadi kuncinya adalah saling menghormati antar keyakinan, hidup rukun berdampingan dan mengutamakan persamaan kemanusiaan di atas segala-galanya.

Jika ada yang menyebut Cak Nun itu liberal dan melenceng jauh dari nash (Al Qur’an dan Al Hadits), menurut saya itu pandangan yang keliru. Coba anda tengok dan baca sendiri puisi-puisi Emha sejak dulu hingga sekarang. Terlihat bahwa prinsip ideologi ke-Islaman Emha sangatlah Qur’ani. Meskipun  yang ditekankan nilai-nilai universal. Bukan pandangan yang terlampau dogmatis dan sempit.

 Kemudian pandangan beliau soal ISIS dan gerakan radikal Islam. Beliau menunjuk beberapa penyebab hingga indikasi "rekayasa" untuk menguasai sumber energi di Timur Tengah. Ini sebuah analisis yang ilmiah sekali. Bahkan Cak Nun menuding adanya "perampokan terselubung" di balik maraknya ISIS, utamanya di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya.

Dalam hal berbangsa dan bernegara, tulisan-tulisan Cak Nun yang melayangkan kritik kepada pemerintahan banyak sekali. Dan itu konsisten sejak dulu. Rezim orde baru saja dikritisi, meskipun dengan “frasa” Jawa yang lembut dan khas. Uniknya beliau tidak pernah terlibat politik praktis dan irit sekali “mengekpose” diri di ruang media. Pandangan-pandangan cak Nun tentang demokrasi dan Amerika justru sangat menyentak. Untuk lebih jelasnya, silahkan anda kunjungi dan baca sendiri di www.caknun.com

Tentu yang paling menarik dari Cak Nun adalah konsep Islam Jawa dan Jawa Islam. Ingatlah sebelum Islam datang, posisi-nya adalah sebagai "orang Jawa" dengan berbagai keunikan dan kelebihanya yang sudah digariskan oleh Tuhan. Nah, jika kultur Jawa dengan kelembutan dan cirikhasnya itu berpadu dengan keluhuran ajaran Islam, maka bisa dibayangkan peradaban unggul seperti apa yang akan terwujud. Dan anda tidak usah berburuk sangka atau cenderung menvonis pemikiran Cak Nun ini menabarak jalur.  Karena selain Al Qur'an dan hadits sebagai sumber hukum utama, kita juga harus merujuk "kenyataan" atau sunnatulloh sebagai bagian dalam menentukan konsep kehidupan.

Agar tulisan ini tidak panjang lebar dan ngalor ngidul, silahkan anda tafsirkan sendiri tentang apa dan bagaimana seorang Emha Ainun Nadjib. Terserah anda, karena interpreter atau mufasir berhak menafsirkan sebuah teks secara independen. Jika sudah, dan anda tertarik lebih jauh dengan Cak Nun, silahkan sesekali waktu sempatkan menghadiri pengajian beliau bersama "Kyai Kanjengnya. Kula nuwun.




Adi Esmawan, pengasuh jurnalva.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support