Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah

Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...

Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur

Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya

Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.

Pilkades dan Telaah Kritis Terhadap Praktik Berdemokrasi

Sejatinya, desa adalah miniatur negara. Atau dalam ranah penelitian (research), desa merupakan sample atau contoh rill bagaimana kita menilai praktik berdemokrasi di negeri ini. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), adalah cerminan paling nyata dari apa dan bagaimana sesungguhnya pemilihan   umum di tingkat yang lebih tinggi, yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Jika kita telaah lebih dalam, sebenarnya proses demokrasi di negeri ini masih jauh dari harapan.  

Mari kita belajar dari prosesi pemilihan kepala desa. Dan kebetulan, 5 Oktober mendatang, desa Tempuran Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara, akan melaksanakan hajat akbar, yakni memilih kepala desa sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara spesifik penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 43 Tahun 2014  dan dijabarkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014.

Dalam praktik pemilihan kepala desa, yang kita dapati pertama kali adalah tradisi politik “modal tinggi”. Siapapun yang ingin mengabdikan diri sebagai kepala desa, harus memiliki kantong tebal sebagai prasyarat utama. Mungkin ini sebagai konsekuensi logis proses demokrasi biaya tinggi. Untuk ukuran saat ini, seorang calon Kepala Desa harus mengeluarkan minimal 50 – 100 juta. Nominal itu diantaranya untuk membayar ongkos resmi pembiayaan Pilkades yang dibebankan kepada calon, biaya sosialisasi (banner & baliho), serta konsumsi dan rokok untuk para tamu dan simpatisan sang calon kades.

Sangat ironis, dimana panitia penyelenggara biasanya membebankan sebagian besar biaya penyelenggaraan Pilkades kepada para calon. Seakan-akan, yang berkepentingan hanya calon kepala desa. Padahal, yang paling berkepentingan seharusnya adalah masyarakat.

Jika calon kepala desa sudah “dituntut” untuk mengeluarkan modal tinggi, maka yang terjadi adalah logika ekonomi. Dimana setelah menjabat sebagai kepala desa, yang dipikirkan pertama kali bukanlah bagaimana membangun desa agar semakin maju, melainkan bagaimana “cepat balik modal”. Dan inilah  salah satu faktor tumbuh suburnya budaya korupsi di negeri ini.
Juga di level kepala daerah. Sekarang berapa gaji “resmi” Bupati, Walikota, Gubernur, dan Presiden? Lalu bandingkan berapa besarnya biaya politik yang mereka keluarkan saat kampanye. Silahkan dikalkulasi. Kemudian kita akan bertanya-tanya, uang darimana? Sumbangan siapa? Jika demikian, independen-kah pemimpin kita? Atau ada “iktikad” balas jasa kepada para donatur kampanye? Ah, sudah. Lupakan. Kembali ke Pilkades.

Seharusnya, untuk menjaring calon pemimpin berkualitas, berintegritas, dan penuh semangat membangun desa, maka seluruh biaya Pilkades dibebankan kepada masyarakat dengan dibantu pemerintah daerah. Dalam pemendagri 112 pasal 48 huruf (a) dan (b), jelas disebutkan bahwa pembiayaan  Pilkades dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kota meskipun khusus untuk kebutuhan pada saat pemungutan suara. Nah, sisanya digotong ramai-ramai oleh masyarakat desa. Pasti ringan. Atau agar masyarakat tidak terbebani, bisa juga dianggarkan dalam APB Desa.

Sehingga, bakal calon kepala desa yang “berkualitas” namun tidak punya uang, bisa ikut berkompetisi dalam pilkades. Juga logika “balik modal” dapat dihindari. Karena masyarakat yang membiayai proses demokrasi, maka setelah menjabat kepala desa memiliki “beban moral” yang tinggi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat.


Sayang, hajatan demokrasi dari tingkat desa sampai level nasional selalu saja “mengajarkan” masyarakat untuk melakukan politik pragmatis. Mudah-mudahan di desaku tercinta tidak ada lagi yang namanya intimidasi, pemaksaan hak pilih, “serangan fajar” apalagi bagi-bagi amplop secara terbuka. Kemudian semua rangkaian proses demokrasi dapat berjalan dengan damai, dewasa, dan mengedepankan persaudaraan di atas segalanya.

Adi Esmawan, owner jurnalva.com




Share:

Tuhan Baru itu Bernama Media


Sejak anda bangun tidur, meski masih bersandarkan bantal dan berselimut, anda sudah berselancar di ruang mayantara.  Ada yang hanya sekedar update status di sosial media, atau mencari berita terbaru yang sedang heboh.  Ponsel pintar selalu menemani kegiatan anda, bahkan disimpan paling dekat dengan “tidur” dan mimpi-mimpi kita.

Teknologi informasi telah merubah wajah kehidupan. Informasi yang memuat ilmu pengetahuan, berita terbaru, gosip terbaru, fakta dan opini, hingga kicauan alay dan tidak bermutu, dari belahan bumi manapun, lintas benua, dengan mudahnya kita dapatkan dari layar smartphone yang teknologinya terus maju pesat.

Tentu saja, kemudahan mengakses informasi ini ada manfaat dan mudharatnya. Ada progress dan regress-nya. Ada positif dan negatifnya. Untuk manfaatnya banyak sekali, dari kemudahan memperoleh khazanah pengetahuan sampai mencerdaskan kehidupan bangsa dengan harga yang “semakin murah”. Juga kebebasan berbicara dan beropini (freedom of speech and opinion) yang sesuka dan “semau kamu”.

Namun unsur kemunduranya juga tak kalah banyak dan semakin meresahkan. Mulai dari pencaplokan “budaya lokal” oleh raksaksa kebudayaan yang mendominasi pemberitaan media, tercecernya ilmu pengetahuan sehingga menumbuhkan kebiasaan “malas berkarya”, suburnya plagiarisme, hingga betapa “maha kuasanya” media dalam menentukan arah kehidupan, baik dan buruk, serta membentuk cara pandang terhadap dunia (world view) di otak masyarakat.

Ya, media memang maha kuasa. Ia adalah Tuhan baru yang mampu menggerakan hati manusia untuk berbuat “apa” dan “bagaimana”. Apa yang menurut media “baik” maka menurut “masyarakat” juga baik. Apa yang sudah divonis “media” jelek dan buruk, maka menurut “otak” kita juga jelek dan buruk. Dan apa yang menurut media “penting”, menurut kita juga penting. Dominan sekali media dalam menentukan opini publik.

Dan menarik sekali artikel dari budayawan Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Patuh Kepada Media”. Dalam kutipan artikel tersebut, Cak Nun menyatakan dalam bahasanya yang khas :
Terkenal itu lebih hebat dibanding berlmu, dibanding profesional, dibanding saleh, dibanding apapun saja. Menjadi orang terkenal lebih dipilih orang untuk dijadikan apa saja dibanding orang terampil, cakap, bermoral, berintegritas, dan jelas keunggulan apapun saja lainnya. Andaikan saja ada Nabi dan Rasul, kalau perlu jika ada malaikat atau jin yang berada dalam konstelasi: berani taruhan orang terkenal akan memperoleh suara lebih banyak dibanding mereka semua itu dalam pemilihan-pemilihan.”
Maksud dari tulisan Cak Nun di atas kurang lebih, bahwa figur buatan media yang “terkenal” lebih diutamakan oleh masyarakat dalam hal apapun. Inilah dominasi “telak” media. Orang biasa tanpa kelebihan apa-apa-misalnya, jika sudah diekspose oleh media sedemikian rupa, maka ia akan menjadi dewa yang tak terkalahkan. Masyarakat akan jatuh cinta padanya.

Fungsi dari media untuk memberikan informasi yang “baik” dan “berimbang” hampir dikatakan sekarat dan mati akibat tujuan utama media bukan lagi memberikan informasi yang faktual dan pengetahuan yang “murni”. Media sudah terjerembab dalam ranah industri, sehingga “trafik pembaca” dan “kue iklan” menjadi tujuan utama.

Media cyber atau media online, selalu mengutamakan kecepatan dan mengabaikan akurasi fakta. Media online lebih memikirkan bagaimana caranya menarik perhatian pembaca sehingga hal yang tidak penting sengaja dibuat heboh. Sehingga jangan heran jika ada judul pemberitaan yang “menarik” namun isinya “menipu”. Itulah budaya media.

Apalagi di ruang sosial media. Jika kita tidak pandai memfilter, maka banyak sekali informasi “sampah” dengan berbagai motif yang semuanya menjurus pada “uang”.
Maka, untuk para pembaca setia media cyber dan pengguna sosial media, perlu selektif sekali dalam memilih dan memilah informasi. Kemudian jangan asal menghakimi hanya berdasarkan pemberitaan media. Apalagi, melihat “kelakuan” media masa saat pemilu 2014 silam, membuat kita tersadar bahwa media lebih berperan sebagai “corong” kepentingan dibandingkan memperjuangkan idealisme dan knowledge yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun demikian, media cyber adalah “gudang ilmu” yang selayaknya anda jelajahi dengan penuh kesabaran. Salam hormat.

Saya sambung lain waktu.

Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com


Share:

Optimisme Pembangunan Desa

Mulai tahun ini, secara efektif telah digulirkan Dana Desa dari Pemerintah Pusat, sesuai dengan amanah Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Besarannya bervariasi, tergantung luas wilayah desa dan jumlah penduduk. Pada tahun 2016 mendatang, wacana alokasi satu milyar per desa per tahun akan benar-benar terealisasi.

Dengan demikian, sumber pendapatan desa meliputi beberapa pos, yakni Dana Desa dari pemerintah pusat, alokasi dana desa dari Pemerintah Daerah, Bantuan Provinsi dari pemerintah Provinsi, serta Pendapatan Asli Desa (PAD) dari BUMDes atau aset-aset desa. Semua pendapatan desa harus dianggarkan dengan jelas dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD.

Mekanisme penyaluran dana desa, langsung ditranfer dari Kementerian Keuangan ke rekening Pemerintah Daerah. Kemudian dari Pemerintah daerah ditranfer ke rekening kas desa masing-masing. Disinilah kadang timbul masalah dimana Pemerintah Daerah  menunda pencairan dana dengan alasan administrasi dan lain sebagainya.

Namun demikian, masyarakat dan pemerintah desa, BPD, LP3M/LPMD, serta para pemangku kepentingan harus optimis dana desa terserap secara efektif untuk pembangunan dan peningkatan kinerja pemerintah desa. Dari optimisme ini, akan lahir kemauan serta political will untuk memanfaatkan dana dengan sebaik-baiknya, tanpa penyelewengan apalagi tindak pidana korupsi.

Dalam hal perencanaan pembangunan, masyarakat harus benar-benar dilibatkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang nanti akan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa). Jangan sampai, dokumen perencanaan pembangunan dibuat asal-asalan tanpa skala priorotas yang baik sehingga akhirnya pembangunan yang dilaksanakan tidak tepat guna.

Jika perencanaan pembangunan desa baik, tata kelola bersih, efektif dan merata, serta dukungan masyarakat dalam partisipasi pembangunan penuh dan menyeluruh, maka kita optimis, pembangunan desa satu tahun kedepan akan pesat dan gemilang. Desa akan menjadi salah satu penyokong pertumbuhan ekonomi khususnya sektor riil.

Namun demikian, mengingat jumlah dana yang cukup besar, pengawasan dan evaluasi dari semua pihak mutlak dijalankan, baik pengawasan secara struktural, lintas sektoral, maupun  pengawasan dari masyarakat agar tidak terjadi praktik penyelewengan dana desa.

Kementerian Keuangan telah mentransfer dana desa ke rekening pemerintah daerah sebagaimana diungkapkan Menteri Desa dan PDT Marwan  Ja’far beberapa waktu lalu kepada media. Mari kita kawal bersama untuk pembangunan desa yang lebih baik.


Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Mengurai Asap di Tanah Andalas


Malapetaka kabut asap  seolah menjadi penderitaan rutin di tanah andalas. Utamanya Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Kebakaran hutan baik tanpa sengaja maupun disengaja adalah faktor utama  kabut  asap, bahkan sejak rezim terdahulu.

Ironisnya, kejadian terus berulang tanpa upaya antisipasi dari Pemerintah Daerah setempat. Respon yang lamban dari pemerintah baik pusat maupun daerah juga menjadi bumbu tersendiri  hingga persoalan asap merembet kemana-mana.

Di jejaring sosial twitter, hastag #MelawanAsap menjadi trending topic. Begitu juga video yang diunggah di Youtube tentang betapa gelisah dan terganggunya masyarakat di ujung Pulau Andalas. Kehidupan mereka abnormal. Penyakit gangguan saluran pernapasan (ISPA), hingga resiko kecelakaan akibat jarak pandang yang  sangat pendek, menjadi ancaman serius yang harus segera ditangani.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui akun twitternya @S.B.Yudhoyono berkicau memberikan saran kepada pemerintah, bahwa untuk menangani masalah kebakaran hutan dan asap yang cukup kompleks. Diperlukan kepemimpinan, kesatuan komando, alat peralatan dan pengerahan petugas. Pencegahan dan tanggung jawab daerah penting. Reaksi cepat pusat penting. Hukum mesti ditegakkan dengan tegas bagi yang lalai dan membakar.

Memang, masalah kabut asap ini cukup pelik. Perlu dukungan dan kesadaran semua pihak untuk mencegah sekecil mungkin potensi kebakaran hutan di tanah Andalas. Baik warga yang hendak membuka lahan, perusahaan perkebunan, maupun “oknum” golongan yang punya kepentingan sehingga tega membakar hutan.

Sekarang, bukan waktunya salih menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Mudah-mudahan, semua pemangku kepentingan baik Pemerintah Daerah, TNI, POLRI dan Pemerintah Pusat saling bersinergi mengatasi persoalan ini. Masyarakat setempat juga semoga tetap diberi kesehatan. Mari jaga lingkungan hidup untuk kedamaian Indonesia kita tercinta.

Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com


Share:

Kemarau Panjang, Apa Kabar Budidaya Ikan Air Tawar?


Jurnalva.com- Musim kemarau berkepanjangan yang terjadi beberapa bulan terakhir membuat produktifitas budidaya ikan air tawar menurun drastis. Defisit air di beberapa daerah menyebabkan  sebagian petani ikan “kalang-kabut”, bahkan ada yang harus merugi karena gagal panen. Banyak juga yang mensiasati kekurangan air dengan terpaksa menggunakan air PDAM.

Masalah  tersebut juga  berpengaruh di daerah yang memang banyak sumber air seperti lereng pegunungan dan dekat dengan hutan. Di daerah kecamatan Karangkobar dan Wanayasa, Banjarnegara, Jawa Tengah, misalnya. Meskipun daerah tersebut tergolong zona “surplus air”, namun kekurangan air untuk pengairan kolam tetap terjadi karena debit air sungai yang menurun drastis di musim kemarau. Ditambah lagi, terjadi perebutan air dengan para pernggarap lahan pertanian dan kebutuhan rumah tangga yang kadang juga memicu konflik.

Partono (48), salah satu pemilik kolam di desa Tempuran mengakui, kekurangan air di musim kemarau kali ini sungguh sangat memberatkan petani ikan. Selain banyak ikan yang mati, khususnya jenis ikan emas dan “melem” yang memang butuh air dengan kuantitas banyak dan kualitas yang jernih.

Meskipun  demikian, kondisi pasar ikan di wilayah  Kabupaten Banjarnegara dan sekitarnya masih lancar dan stabil. Tidak terjadi fluktuasi kenaikan harga ikan. Di pasar ikan Karangkobar, misalnya, harga ikan mujair masih standar, berkisar Rp.25.000,-/Kg. Sementara untuk ikan lele Rp. 18.000,-/Kg. Untuk ikan emas atau “wader” masih bertengger di angka Rp. 60.000,-/Kg. Sementara ikan koi yang merupakan ikan hias juga masih wajar. Artinya, tidak ada inflasi berarti di komoditas ikan air tawar, tidak seperti daging ayam dan daging sapi yang meroket akibat kondisi makroekonomi. 

Solusi kekurangan air untuk kolam budidaya ikan masih bisa disiasati dengan memanfaatkan air sisa kegiatan pertanian. Atau dapat juga menggunakan sistem siklus air. Jadi  air hanya diputarkan sebagai siklus untuk membuat kadar oksigen dan Ph tetap stablil. Meski cara ini harus merubah struktur sistem pengairan kolam.
Mudah-mudahan, musim kemarau panjang segera berakhir agar para petani ikan dapat bernafas lega.

Adi Esmawan. Owner jurnalva.com
Share:

Inilah Daftar Korban Musibah “Crane” di Masjidil Haram Asal Indonesia

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, berikut daftar nama jama’ah haji yang menjadi korban musibah jatuhnya alat berat “Crane” baik wafat maupun luka-luka.

1. ITI RASTI DARMINI, No Paspor: B0716645, Kloter: JKS – 023 (Keterangan: Wafat)

2. MASNAULI SIJUADIL HASIBUAN, No. Paspor: B1061545, Kloter: MES – 009 (Wafat)

3. SUJI SYARBAINI IRONO, No Paspor: B1306321, Kloter: BTH – 014 (dirawat BPHI Makkah)

4. ERNAWATI MUHAMMAD SAAD, No. Paspor A4761751, Kloter: BTH – 001 (dirawat di RSAS)

5. KURSIA NANTING LEMBONG, No. Paspor B0507644, Kloter: BTH – 017 (dirawat di RSAS)

6. NASRIAH BINTI MUHAMMAD ABDURRAHMAN, No Paspor: B1175082, Kloter: BTJ – 001, (dirawat di RSAS)

7. ARDIAN SUKARNO EFFIEN, No. Paspor: B0907275, Kloter: JKG – 007, (dirawat di RSAS)

8. TETI HERAWATI MAD SALEH, No. Paspor: B0941422,  Kloter: JKS – 005, (dirawat di RSAS)

9. APIP SAHRONI ROHMAN, No. Paspor: B0941479, Kloter: JKS – 005, (dirawat di RSAS)

10. EMMIWATY JANAHAR SALEH, No Paspor:  B1354467, Kloter: MES – 008, (dirawat di RSAS)

11. NUR BAIK NASUTION, No. Paspor: B1061239, Kloter: MES – 009, (dirawat di RSAS)

12. SOPIAH TAIZIR NASUTION, No. Paspor: A6773447,  Kloter: MES – 009, (dirawat di RSAS)

13. TRI MURTI ALI, No. Paspor:  B0396519, Kloter: PDG – 003, (dirawat di RSAS)

14. ZULFITRI ZAINI HAJI, No. Paspor: A3910753, Kloter: PDG – 003, ( dirawat di RSAS)

15. ZALNIWARTI MUNAF UMMA, No. Paspor: B0393772, Kloter: PDG – 004, (dirawat di RSAS)

16. ALI SABRI SELAMUN, No. Paspor: B0785804, Kloter: PDG – 007, (dirawat di RSAS)

17. UMI DALIJAH AMAT RAIS, No. Paspor B0957604, Kloter: SOC – 024, (dirawat di RSAS)

18. ENDANG KASWINARNI POERWOMARTON, No. Paspor: B1107076, Kloter: SOC – 046, (dirawat di RSAS)

19. DJUMALI JAMARI SETRO WIJOYO, No. Paspor: B1496896, Kloter: SOC – 052, (dirawat di RSAS)

20. MURODI YAHYA KASANI, No. Paspor:  B0754094, Kloter:  SUB – 001, ( dirawat di RSAS)

21. HASAN MANSUR AHMAD, No. Paspor: B0746467, KLoter: SUB – 010, (dirawat di RSAS)

22. SAINTEN SAID TARUB, No. Paspor: B0992684, Kloter:  SUB – 015, (dirawat di RSAS)

23. NURUDDIN BAASITH SUJIYONO, No. Paspor:  B1035292, Kloter: SUB – 021, (dirawat di RSAS)

24. ISNAINY FADJARIJAH ABDUL DJUMALI, No. Paspor: B1052806, Kloter SUB – 021, (dirawat di RSAS)

25. SAHARMI UMAR PASSIRE, No. Paspor: B0590380, Kloter: UPG – 002, (dirawat di RSAS)

26. NORMA LATANG KULASSE, No. Paspor: B1161965, Kloter: UPG – 005, (dirawat di RSAS)

27. ROSNALLANG CACO BABA, No. Paspor: B0901348, Kloter: UPG – 005, (dirawat di RSAS)

28. HADIAH SYAMSUDDIN SAK, No. Paspor: B1162080, Kloter: UPG – 015, (dirawat di RSAS)

29. MUHAMMAD HARUN ABDUL HAMID, No . Paspor: B1163100, Kloter: UPG – 016, (dirawat di RSAS)

30. FATMAWATI ABDUL JALIL, No. Paspor: B1162645, KLoter: UPG – 018, (dirawat di RSAS)

31. ABDUL JALIL CONCI LETA, No. Paspor:  B1162600, Kloter:  UPG – 018, (dirawat di RSAS)

32. ROSDIANA MUDU TOHENG, No. Paspor: B1162756, Kloter: UPG – 018, (dirawat di RSAS); dan

33. ERNI SAMPE DOSEN,, No. Paspor: B1162715, Kloter: UPG – 018, (dirawat di RSAS).

 Mudah-mudahan, korban luka-luka dapat segera diberi kesembuhan oleh Alloh dan bagi yang wafat semoga khusnul khotimah.

Gambar : www.dream.co.id 

Kontributor : Adi Esmawan
Share:

Menafsirkan Emha Ainun Nadjib


Emha Ainun Nadjib atau lebih akrab disebut “Cak Nun” adalah “teks” yang multitafsir. Pemikiran-pemikiran beliau yang tertuang dalam bahasa tulisan (inscription) selalu menggelitik pembacanya untuk menguliti, mendalami, merenungkan, dan merefleksikanya dalam praktik kebe-ragamaan dan kebudayaan. Acap kali, tulisan-tulisan beliau keluar dari rel baku paradigma ke-Islaman dan kebudayaan yang sudah terpatri sebagai praktek keseharian masyarakat kita. Tapi itulah keindahan sekaligus nilai tambah tulisan-tulisan Cak Nun.

Perjumpaan pertama penulis dengan karya beliau bermula dari buku jadul “Jogja Indonesia, Pulang-Pergi”. Buku terbitan tahun 1999 itu dikemas dengan bahasa yang renyah, gurih, humoris tapi menyimpan makna yang begitu dalam. Itulah khas tulisan Cak Nun.


Buku yang dengan apik mendeskripsikan tentang Yogyakarta di era reformasi ini mengajak para pembaca untuk menyelami lebih jauh lautan hikmah di balik “Jogjakarta” secara kultur-history, hingga kritik sosial dan juga soal pembunuhan wartawan Bernas bernama “Udin” yang legendaris dan belum terungkap hingga sekarang itu.

Jika membandingkan tulisan Cak Nun dengan cendekiawan Nurcholis Madjid (Cak Nur), maka perbedaanya terletak pada gaya bahasa dan “kemasan tulisan”. Nurcholis Madjid cenderung ilmiah, sistematis, dan melalui pendekatan empiris yang normatif. Maklum, beliau orang akademik (Rektor Universitas Paramadina). Sedangkan tulisan Cak Nun begitu mengalir, humoris, merefleksikan bahasa keseharian dan kadang sangat puitis dengan perpaduan sastra tingkat tinggi. Meski kadang tulisan Cak Nun juga sangat “ekstrem” dan “galak” jika sudah menyangkut “suatu hal”. Meskipun begitu, tulisan Cak Nun juga tidak kehilangan “nuansa ilmiah-nya”.

Tulisan-tulisan beliau di laman www.caknun.com, atau di media nasional juga sangat khas. Terkadang, membaca judulnya saja sudah antik dan menarik. Isinya kadang memeras otak mirip pengisian teka-teki silang. Pendalaman maknanya sangat kental dan parsial. Jadi tulisan Cak Nun itu tidak ada yang “ngecamprang” alias normatif. Semua tulisanya berbobot bahkan bobotnya terlalu berat.

Mari kita menengok pandangan-padangan beliau soal ke-Islaman dan dialektika kebudayaan. Setiap tulisan-tulisan beliau, pasti yang diperjuangkan adalah “nilai”, bukan simbolik – formalistik. Agama adalah nilai kasih sayang, hingga masalah “sepele” macam menyingkirkan rintangan di jalan saja sudah mendapatkan kredit dari Tuhan. Kemudian penekanan kembali bahwa agama adalah wilayah “keyakinan”. Karena itu, keyakinan sangatlah personal. Karena keyakinan “saya” dengan keyakinan “anda” tidak mungkin sama persis. Keyakinan itu diaplikasikan lewat perbuatan, bukan ucapan belaka. Anda boleh saja berucap syahadat satu hari seratus kali, tapi anda belum tentu benar-benar “bersyahadat”. Dan itu yang tau hanya anda dan Tuhan sendiri.

Dalam meyakini sebuah ajaran agama, setiap pemeluk agama pasti meyakini agama yang dianutnya adalah benar, yang lain salah. Tapi itu tidak perlu diungkapkan kepada orang lain, utamanya pemeluk agama lain. Ketika kita umat Islam meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar, maka seperti itu pula keyakinan pemeluk-pemeluk agama lain, atau aliran-aliran lain. Jadi kuncinya adalah saling menghormati antar keyakinan, hidup rukun berdampingan dan mengutamakan persamaan kemanusiaan di atas segala-galanya.

Jika ada yang menyebut Cak Nun itu liberal dan melenceng jauh dari nash (Al Qur’an dan Al Hadits), menurut saya itu pandangan yang keliru. Coba anda tengok dan baca sendiri puisi-puisi Emha sejak dulu hingga sekarang. Terlihat bahwa prinsip ideologi ke-Islaman Emha sangatlah Qur’ani. Meskipun  yang ditekankan nilai-nilai universal. Bukan pandangan yang terlampau dogmatis dan sempit.

 Kemudian pandangan beliau soal ISIS dan gerakan radikal Islam. Beliau menunjuk beberapa penyebab hingga indikasi "rekayasa" untuk menguasai sumber energi di Timur Tengah. Ini sebuah analisis yang ilmiah sekali. Bahkan Cak Nun menuding adanya "perampokan terselubung" di balik maraknya ISIS, utamanya di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya.

Dalam hal berbangsa dan bernegara, tulisan-tulisan Cak Nun yang melayangkan kritik kepada pemerintahan banyak sekali. Dan itu konsisten sejak dulu. Rezim orde baru saja dikritisi, meskipun dengan “frasa” Jawa yang lembut dan khas. Uniknya beliau tidak pernah terlibat politik praktis dan irit sekali “mengekpose” diri di ruang media. Pandangan-pandangan cak Nun tentang demokrasi dan Amerika justru sangat menyentak. Untuk lebih jelasnya, silahkan anda kunjungi dan baca sendiri di www.caknun.com

Tentu yang paling menarik dari Cak Nun adalah konsep Islam Jawa dan Jawa Islam. Ingatlah sebelum Islam datang, posisi-nya adalah sebagai "orang Jawa" dengan berbagai keunikan dan kelebihanya yang sudah digariskan oleh Tuhan. Nah, jika kultur Jawa dengan kelembutan dan cirikhasnya itu berpadu dengan keluhuran ajaran Islam, maka bisa dibayangkan peradaban unggul seperti apa yang akan terwujud. Dan anda tidak usah berburuk sangka atau cenderung menvonis pemikiran Cak Nun ini menabarak jalur.  Karena selain Al Qur'an dan hadits sebagai sumber hukum utama, kita juga harus merujuk "kenyataan" atau sunnatulloh sebagai bagian dalam menentukan konsep kehidupan.

Agar tulisan ini tidak panjang lebar dan ngalor ngidul, silahkan anda tafsirkan sendiri tentang apa dan bagaimana seorang Emha Ainun Nadjib. Terserah anda, karena interpreter atau mufasir berhak menafsirkan sebuah teks secara independen. Jika sudah, dan anda tertarik lebih jauh dengan Cak Nun, silahkan sesekali waktu sempatkan menghadiri pengajian beliau bersama "Kyai Kanjengnya. Kula nuwun.




Adi Esmawan, pengasuh jurnalva.com
Share:

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang akan kita bahas pada tulisan ini.

Bermula penyampaian materi OSPEK di sebuah Sekolah Tinggi swasta di Banjarnegara. Kebetulan disiplin ilmunya bidang Teknologi Informasi. Ada yang menyentak, ketika sang pemateri (bernama Bapak Fajar Junaedi EP, S.Si, M.Kom) berpesan kepada para peserta “jangan kira anda itu calon teknokrat, tapi sebetulnya programer itu “seniman tingkat tinggi”. Bahkan, seorang programer dunia,  Donald Knuth, menyusun buku berjudul “The Art of Computer Programing”.

Pesan itu sanggat menggelitik penulis dan menarik untuk dikaji.
Ternyata benar, programer itu seniman tingkat tinggi. Atau minimal, seorang programer harus bisa mengadopsi nilai-nilai seni dan estetika dalam membuat sebuah program. Tidak usah jauh-jauh, ketika seorang programer merancang bangun sebuah website, maka dia bukan hanya dituntut untuk merangkai dengan sempurna kode-kode atau script HTML, CSS, kemudian mengkonfigurasinya dengan PHP dan MySQL atau database online. Lebih dari itu, sang programer juga harus menganalisa bagaimana agar website yang dibuatnya memiliki nilai estetika dan keindahan, sehingga tampilan interface-nya disukai oleh user.

Karena percumah saja, sebuah website dibuat dengan script yang rumit dan tingkat tinggi, namun interface-nya menyulitkan, tidak menarik dan tidak disukai pengguna.

Itu baru seorang programer web. Seorang programer atau pengembang Sistem Operasi, baik berbasis Linux maupun windows-misalnya, harus berprinsip “mengembangkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan”. Ibarat pelukis, ia disuruh menambal “bagian mana” yang dianggap tidak elok. Jadi, fungsi “memperindah” mutlak dipakai. Bukan malah pengembanganya justru menambah runyam dan meperjelek tampilan.

Mungkin tertinggi adalah programer kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), yang harus dengan “apik” mengintegrasikan nilai-nilai seni dan estetika dalam perancangan algortitmik yang terpadu. Alhasil, robot komputer yang dihasilkan bukan hanya cerdas menirukan apa yang dilakukan manusia, melainkan menyajikan sebuah karya seni yang agung.

Sampai disini mungkin kita wajib “tersadar”, bahwa programer adalah seniman tingkat tinggi.


Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com, pengasuh  komunitas belajar bersama “Muhibul Qur’an”, Dusun Sigong Desa Tempuran.
Share:

Ahok dan Usulan Pembubaran IPDN



Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kembali menuai kontroversi pasca usulanya yang meminta Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dibubarkan. Ahok beralasan, selama ini tes masuk dan output (lulusan) IPDN tidak jelas. Hasil lulusan IPDN yang duduk dipemerintahan juga dianggap kurang memiliki daya saing dan tidak menunjukan sikap sebagai pelayan publik (public servant). Kesan di masyarakat juga menganggap IPDN masih menggunakan pola militeristik dalam mendidik praja (perserta didik) IPDN.

Kontan saja, usulan Ahok disambut beragam reaksi pro dan kontra. Ikatan Alumni IPDN mengecam keras usulan Ahok. Bahkan tidak tanggung Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa IPDN masih dibutuhkan dan tidak perlu dibubarkan. Kalau urusan kekerasan (militeristik), itu yang dihilangkan, bukan sekolahnya yang dibubarkan.

Perlu diketahui bahwa IPDN merupakan pendidikan tinggi kedinasan khusus calon Pegawai Pemerintahan yang berada dalam naungan Kementerian Dalam Negeri. Pendidikan Tinggi ini bertujuan untuk menyediakan Sumber Daya Manusia calon  aparatur pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan jejak rekam, banyak alumnus IPDN yang berprestasi. Meskipun banyak juga yang biasa-biasa saja bahkan dibawah standar alumni perguruan tinggi lain.

Tentu saja, segala sesuatu tidak bisa digebyah  uyah podo asine alias disamaratakan bahwa semua alumni IPDN tidak berkualitas dan pola militeristik masih kental. Jika digeneralisir seperti itu, maka jelas tidak bijaksana.

Ibarat kata, jika dalam suatu tubuh lembaga  pendidikan tinggi terdapat masalah, yang dihilangkan masalahnya bukan sekolahnya yang harus bubar. Saya yakin, keberadaan IPDN masih sangat dibutuhkan oleh negeri ini sama halnya dengan AKPOL dan AKMIL. Tinggal tata kelola dan sistem yang diperbaiki. Usulan pembubaran IPDN adalah sangat berlebihan.


Author : Adi Esmawan
Share:

Ada Masalah Apa dengan Token Listrik?



Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang meminta kebijakan token listrik prabayar dikaji kembali, cukup menarik dan menyentak perhatian publik. Selama ini, sistem pembayaran listrik secara prabayar melalui token (pulsa) listrik dianggap sebagai sebuah terobosan baru yang inovatif dan efisien.

Bahkan, PLN menyebutkan diantara keunggulan listrik prabayar adalah pengguna lebih leluasa dalam mengendalikan pemakaian listrik, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna. Tetapi nyatanya di lapangan, justru lebih banyak memberatkan masyarakat .

Menteri Rizal Ramli menyebutkan, masalah utama dalam token listrik prabayar adalah ketersediaanya yang terbatas dan harga yang mahal akibat pembengkakkan biaya administrasi. Beliau mencontohkan, jika membeli pulsa listrik Rp.100.000,-, listriknya hanya Rp. 73.000,-.  “Kejam sekali itu, 27% disedot oleh provider yang setengah mafia”, ujar Rizal Ramli.

Pakar ekonomi jebolan Amerika tersebut juga menuding ada monopoli sistem tarif listrik. Ia bahkan menenggarai ada mafia di balik megaproyek token listrik.
Jika memang kenyataanya demikian, maka sistem pembayaran listrik prabayar perlu dikaji kembali. Apalagi, banyak masyarakat yang mengeluh karena sistem inputnya lebih rumit daripada listrik pasca bayar dengan sistem analog.

Contohnya di pelosok desa yang masih banyak penyandang buta aksara. Dalam membeli token listrik dan menginputnya, masih mengalami kesulitan. Kemudian banyak terjadi token yang masuk lebih mahal dari nilai yang dibeli. Apalagi jika membelinya dengan jumlah yang kecil, maka dihitung-hitung lebih mahal biaya administrasi dan “pembengkakan” tarif daripada pulsa listriknya.

Seharusnya, PLN bijaksana dan tidak hanya mengejar profit belaka. Urusan tarif listrik berkenaan dengan hajat hidup rakyat. Jika yang dipakai adalah logika korporasi dengan “untung” sebagai target utama, maka rakyat yang “buntung” dan sama dengan drakula yang menyerap darah anaknya sendiri.

Author : Adi Esmawan
Sumber gambar : Laman Resmi PLN




Share:

Darurat Lingkungan

Kondisi lingkungan hidup kita kian hari kian kritis dengan beragam faktor yang kompleks dan rumit. Laju jumlah penduduk, target pertumbuhan ekonomi, hingga hasrat konsumerisme gaya hidup membuat manusia dengan tanpa rasa bersalah “merusak” sarangnya sendiri, yakni bumi yang kita tinggali.  Kerusakan lingkungan hidup sudah nampak telanjang di depan mata. Dampaknya juga sudah dirasakan baik di musim hujan maupun kemarau panjang.

Perlu gerakan yang massif dan melibatkan seluruh komponen warga negara untuk melakukan penyelamatan di menit-menit terakhir. Mulai dari masyarakat umum, mahasiswa, dan para pemangku kepentingan harus “sadar diri” akan kondisi darurat penyelamatan lingkungan. Buang segala pragmatisme sempit yang mementingkan target pertumbuhan ekonomi dengan cara merusak lingkungan. Misalnya soal penambangan pasir, pembukaan hutan untuk lahan baru atau kawasan properti, penyulapan hutan lindung menjadi kebun kelapa sawit dan tindakan-tindakan bodoh lainya.

Meminimalisir penggunaan plastik kemasan juga merupakan bagian dari gerakan sadar lingkungan. Juga bangkitkan kembali mimpi satu orang menanam satu pohon. Jika program ini terwujud, maka di satu abad Indonesia yakni 2045 nanti, kita tidak khawatir kondisi lingkungan hidup di Indonesia semakin parah.

Di sekolah-sekolah, kegiatan penanaman pohon mudah-mudahan bukan hanya bersifat simbolis. Sehingga menanamnya hanya di momen-momen tertentu. Setelah itu, pohon yang ditanam tidak dirawat bahkan dibiarkan mati. Ini sama saja gerakan percumah.

Bumi bukan hanya untuk kita yang hidup hari ini. Seperti kata Gandhi : Bumi ini cukup untuk menghidupi manusia, tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Manusia terlampau rakus dan ingin hidup serba mudah. Ya, dengan merusak lingkungan.

Sampai jumpa lain waktu.


Sumber foto : twitter milanasari
Share:

Mencari Makna Hidup

Saya yakin, anda (dan juga saya) masih terbingung-bingung dengan apa makna “hidup” dan kehidupan sesungguhnya. Sebelum kita lebih jauh, sambil terus membaca artikel ini, silahkan rentangkan kedua tanganmu. Bersama datang malam. Agar dapat kau rebahkan kepala. Kemudian bernafaslah perlahan.  Nikmati  nafas-nafas anda dengan memejamkan mata. Endapkan hati, tenangkan fikiran. Jernihkan rasa dan buang segala gundah. Peganglah bilik kiri dada anda. Kemudian bersyukurlah, jantung anda masih berdetak. Itulah tafsir hidup nomor satu.

Kemudian anda tanya kembali diri anda, hidup itu apa sih? Apa perlu kita keluar ke teras rumah. Mungkin ada beberapa tanaman bunga di sana. Atau pohon-pohon rindang di kanan kiri rumah anda. Jika masih hijau, berbunga, berdiri tegak, dan mengayun melambai dibuai angin. Itu tandanya hidup. Sampai disini kita sudah tau makna hidup?

Hidup adalah detik ini. Saat anda menghirup nafas pertama dan mengeluarkanya kembali. Sebelum itu sudah menjadi sejarah, kenangan. Dan yang belum terjadi hanyalah sebatas rencana dan angan-angan. Ini makna hidup yang kedua. Tapi pendapat ini lebih dekat dengan pemikiran Marx, tokoh komunis ternama.

Hidup itu anugerah dari Tuhan : kesempatan untuk berdharma bhakti kepada-Nya, menjalankan hukum-hukumnya. Berjalan di atas petunjuknya. Ini konsep hidup kita sebagai manusia yang sangat bergantung pada Tuhan. Maka makna hidup menjadi ringan : kesempatan berjalan menuju Tuhan.

Tapi jangan lupa, Tuhan memberikan hidup bukan hanya kepada kita, manusia. Juga kepada semut, lebah, belalang, serangga, cacing, elang, emprit, garuda, pleci, ular sawah, ikan, dan jutaan spesies dari  golongan flora maupun fauna. Mereka itu sama-sama ciptaan Tuhan yang tentu saja punya nilai, manfaat dan tujuan diciptakan. Ingat, Tuhan tidak menciptakan suatu hal pun dengan sia-sia.

Jadi sesama makhluk hidup, tugas kita saling menghargai, menghormati dan juga menghidupi. Janganlah kerakusan kita menyebabkan hidup makhluk lain terampas. Dari hal kecil saja, silahkan anda mencuci baju, tapi jangan sampai detergen dan limbah rumah tangga membunuh ekosistem air tawar. Janganlah sampah dan limbah industri membunuh ekosistem sungai. Itu baru hal kecil.

Mungkin bisa juga kita maknai, hidup adalah berbagi. Memberikan apa yang bisa kita berikan. Bukan aji mumpung kemudian mengeksploitasi segalanya untuk kenikmatan kita.

Selanjutnya, silahkan maknai sendiri bagaimana hidup anda. Sampai jumpa lain waktu.


Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Definition List

Unordered List

Support