Tesis utama setiap agama adalah mempercayai adanya Tuhan (trust in God), meskipun yang mengetahui kadar keimanan hanya Tuhan itu sendiri. Implementasi dari keimanan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dengan tingkah dan langkah, bahkan cara hidup (way of life).
Jadi, meskipun rasa percaya adanya Tuhan yang mengetahui hanya Tuhan dan orang (manusia) itu sendiri, akan tetapi rasa atau jiwa ilahiah (religiusitas) dapat diidentifikasi dan dicerminkan melalui tingkah laku sehari-hari
Semakin tinggi rasa keagamaan seseorang (religion intuition), maka semakin taat dan patuh ia terhadap perintah dan hukum-hukum ke-Tuhanan (the devine law), hal ini karena rasa kepercayaan terhadap adanya Tuhan, hadirnya Tuhan dalam mengawasi hidup, sudah menjiwai orang tersebut.
Sebaliknya, semakin rendah rasa kepercayaan manusia terhadap adanya Tuhan, semakin tidak teratur hidup seseorang alias semaunya sendiri dan cenderung berorientasi mengejar kenikmatan dan kebendaan (hedonis-materialis) yang bersifat semu dan fragmentaris (sesaat).
Nah, kalau kita evaluasi diri kita dan realitas di sekeliling kita, masih percayakah kita terhadap adanya Tuhan , atau Tuhan hanya menjadi retorika dan suplemen ludup yang hanya ”sampingan”? Mari kita merenung sejenak, Indonesia adalah negara yang beragama, bahkan dasar konstitusi kita yang pertama menyebut tentang ke-Tuhanan.
Namun, melihat kenyataan, mulai dari korupsi, suap-menyuap, pungli tanpa malu, hingga wajah pelajar dan pemuda kita yang kian amoral, bahkan ”tanpa tedeng aling-aling” menentang dan melanggar hukum moral (imperatife morals/morals law), dan juga hukum-hukum ke-Tuhanan (the devine law /syari’at agama).
Kalau seperti itu, masih adakah Tuhan di hati kita? Atau kita adalah bukan manusia (subhuman nature /animals) sehingga tidak ada rasa percaya terhadap Tuhan (atheis)?
Yang jelas di luar Theologi dan ritus formal, ajaran semua agama secara universal adalah humanisme (kemanusiaan) dan hidup teratur.
Mari, jika kita masih percaya adanya Tuhan, kita dalami nilai agama dan kita amalkan (implementasikan) dalam hidup, atau paling tidak, jangan sampai kita membuat marah sebagian pihak (hingga melakukan tindakan tegas, atau swiping) karena perbuatan yang melanggar agama dan moral di muka umum.
Bukankah menghormati hak dan perasaan orang lain adalah salah satu pilar demokrasi yang kita gembar-gemborkan? Terakhir, semoga masih hadir di hati kita Tuhan yang maha Hadir (omnipresent) yang selalu mengawasi dan mengatur kita untuk memanusiakan manusia agar lebih manusiawi (humaniora).
Penulis : Adi Esmawan
Tulisan ini pernah di muat
Harian Suara Merdeka, edisi 19 November 2009
0 komentar:
Posting Komentar