Mungkin, kita
bertanya-tanya dalam hati yang paling dalam, sejauh mana etika berpengaruh
efektif bagi kehidupan modern ini? Ya, etika. Atau hampir sepadan dengan hukum
moral (morals law).
Peru diketahui, bahwa
etika atau moral hanya bersifat “kamu harus dan kamu jangan”, kemudian
mengkategorikan pelakunya menjadi “orang baik dan orang tidak baik”. Hanya itu
wewenang moral dan etika. Ia sama sekali tidak punya kuasa untuk menghukum
pelanggar etika dengan ganjaran penjara apalagi hukuman denda. Sekali lagi,
moral dan etika akan hanya menjadi omong kosong tanpa kepedulian masyarakat
untuk tetap menganutnya sebagai hukum kebiasaan.
Lalu bagaimana dengan
etika lingkungan? Dulu, waktu penulis kecil, orang-orang sepuh mengajurkan kami
untuk berlaku “sopan” terhadap lingkungan. Mulai dari tidak buang air
sembarangan di bawah pohon, tidak mengotori tempat tertentu, tidak mematahkan
ranting tanpa guna, hingga larangan membunuh satwa dan menebang pohon. Entah
itu karena alasan magis atau mistis. Yang jelas, semuanya adalah “hukum tidak
tertulis” yang dengan penuh kearifan ditaati oleh masyarakat sekitar.
Bukan untuk menyembah
pepohonan besar di tengah hutan, apalagi memuja dan menyajikan sesembahan
seperti penganut paganis-animisme tempo dulu. Kita hanya mencoba menelaah,
bahwa tradisi ternyata banyak menyisakan kearifan terhadap lingkungan. Di era
modern yang mengedepankan materialis-hedonis sebagai panglima, bisakah etika
moral terhadap lingkungan ini kita pertahankan?
Komitmen menjaga
lingkungan harus melibatkan semua orang, semua pihak. Perlu kesadaran kolektif
lintas lembaga. Menjaga hutan, lingkungan alam, pepohonan, satwa-satwa, dan
sesama makhluk ciptaan Tuhan dengan berlaku “sopan” dan menghormati hak-hak
mereka sebagai sesama penghuni bumi, adalah keniscayaan kita untuk membiasakan
hidup berdampingan dengan sub human nature.
Semoga tulisan ini
bukan hanya sekedar tulisan. Salam makna, salam inspirasi.
Adi Esmawan, Owner
www.jurnalva.com
0 komentar:
Posting Komentar