Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Cerpen : Kerinduan dari Canbera

Aku  tak sabar menunggu laju hari, seperti calon pengantin yang menunggu hari perkawinan. Ya, besok, tepat tiga April 2015, saat libur tanggal merah,  adikku akan pulang dari Canbera, Australia. Aku sudah kelewat rindu dengan adik satu-satunya itu lantaran sudah hampir satu windu tak pernah berjumpa. Seperti apa wajahnya kini, aku tak bisa membayangkan. Karena yang tersisa di rumah ini hanya kenanganya tempo dulu sewaktu ia duduk di bangku SMA. Foto hitam putih yang sudah buram dimakan usia itu masih aku pajang di dinding ruang depan. Dialah adikku, Anis Ramadhan.

Aku jadi ingat, bahkan masih sangat ingat, kejadian malam itu. Kejadian yang menjadi tonggak perubahan laku dan sikapnya. Waktu itu, arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul sebelas malam. Mataku juga sudah menyempit menahan kantuk. Namun harus ku tahan hasratku untuk memeluk bantal dan menyandarkan letih setelah seharian bekerja. Aku masih menunggunya dengan setia di kursi kayu ruang tamu. Hatiku resah, khawatir, sekaligus geram dan marah karena sampai selarut ini adikku satu-satunya belum pulang dari sekolah.  “Keluyuran kemana saja kau, Anis!”,  batinku mengomel seorang diri.

Tak  lama berselang ku dengar daun pintu berderit, ada yang membukanya pelan. Spontan ku nyalakan lampu ruang tamu. Dan benar, Anis Ramadhan, adik yang aku banggakan baru pulang dari sekolah tepat jam setengah dua belas malam. Baju putih Osis nya terlihat sudah kumal dan tak rapi lagi. Wajahnya yang putih tampan terlihat kusut dan letih. Matanya merah.

“Dari mana saja kau, Anis!!”, tanyaku datar saja. Ku tahan amarahku di hati. Namun Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia justru menunduk lesu. Kupandang ia lekat-lekat. Kemudian ku dekati  tubuhnya dan aku tersentak ketika aroma alkohol begitu menyengat menusuk hidungku.

“Kau mabuk, Anis ?!”,  gertakku dengan mata melotot. Tanpa sadar dan seperti gerakan spontanitas ku tampar pipinya hingga terlihat memerah. Ia tetap terdiam saja. Seolah sengaja mempasrahkan diri untuk kumarahi habis-habisan. Akupun tersadar. Tiada gunanya mengomeli bocah ini dengan kekerasan. Akupun beranjak dari ruang tamu, masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku benar-benar marah waktu itu.

Pagi ketika menjelang fajar, kubangunkan Ia dengan paksa. Kusuruh ia mandi kemudian ikut shalat malam bersamaku. Ku lihat wajahnya yang letih dan menahan kantuk waktu itu. Tapi aku tak peduli. Disaat itulah, ku perlihatkan foto mendiang Bapak dan Ibunya.

“Kau tau Anis, semenjak kecelakaan tragis itu merenggut nyawa orang tua kita, kaulah harta kakak yang paling berharga”, aku memulai nasehatku dengan haru.

“Anis, aku ingin kau jadi orang besar, orang sukses, agar orang tua kita yang nun jauh disana bisa tersenyum  dan bangga padamu. Aku rela bekerja keras,  menuruti kemauanmu. Masalah biaya sekolah, kuliah, berapapun, akan kakak usahakan. Aku rela tidak memikirkan masa depanku asal masa depanmu kelak terjamin. Lalu kita bungkam  orang-orang yang pernah meremehkan kita.”, pungkasku sambil menatapnya lekat-lekat. Ia hanya menunduk. Dari pipinya keluar air mata bening. Syukurlah, dia menyesal.

“Mulai besok, berjanjilah pada Kakak, kau harus jadi anak yang baik, tidak mabuk-mabukan. Tidak suka membolos sekolah.., apalagi tawuran dan bikin onar, itu bukan karakter calon orang besar !”, tandasku dengan nada yang mantap.

Sejak nasehat itulah, tingkah polah adikku, Anis Ramadhan menjadi lain. Dia menjadi penurut, rajin, mandiri, dan  tak kusangka dia mendapakan beasiswa untuk kuliah di  negeri Kanguru, Australia. Meskipun aku ditinggal seorang diri di sini. Aku tetap bahagia dan bangga.

Teringat dengan jelas perpisahan di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta waktu pemberangkatanya ke Canbera, delapan tahun silam. Wajah putihnya tampak menyimpan kesedihan yang mendalam. Ia memelukku dengan erat, seperti tak pernah berjumpa kembali.

“Kakak, doakan Anis Ramadhan, semoga berhasil dan pulang kembali dengan membawa kemenangan, untuk kakak”, ucapnya kala itu.
“Adikku, dalam setiap do’aku, tak pernah kulupakan namamu. Kau juga harus berjuang dengan keras, tunjukan bahwa kamu adalah calon orang besar, ingat, kebahagian terbesar diri kita adalah ketika kita dapat melakukan apa yang menurut orang lain tidak bisa kita lakukan”, nasehatku panjang lebar. Kemudian ia menyalamiku, mememelukku sekali lagi, dan beberapa saat kemudian Ia lepas landas bersama Garuda Indonesia yang meninggalkan tanah Cengkareng menuju Canbera.

Kini hampir delapan tahun berlalu. Masa studi  Anis Ramadhan seharusnya sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Namun  kabar yang sampai kepadaku, ia langsung bekerja di sana sebagai pakar konstruksi bangunan dan praktisi agribisnis. Dia juga sudah berkeluarga kabarnya. Sekali lagi aku sangat bangga. Meskipun sepucuk surat, sebait sms, atau satu kata dari telepon tak pernah sekalipun Anis Ramadhan lakukan pada kakaknya. Tapi aku yakin Anis Ramadhan tidaklah lupa. Kata Pak Darmawan, pegawai Kedutaan Besar Indonesia di Australia, mengatakan bahwa Anis Ramadhan sangat rindu padaku. Tapi demi konsentrasi dan dedikasinya, ia sengaja tak mau menghubungiku. Nanti saja kalau sudah ada waktu luang, Ia akan mengunjungiku kemari bersama keluarga kecilnya, begitu kata Pak Darmawan. Staf Kedubes itu jua yang memberitahukan bahwa tanggal 03 April, saat libur paskah dan akhir pekan, ia akan berlibur kemari.

Aku memang tak habis pikir, kenapa ia setega itu. Namun tak apalah, yang penting besok, saat yang  dijanjikan, Ia akan kembali ke sini, di tanah kelahiranya. Ke rumah yang dulu membesarkanya. Di kampung tempatnya pertama kali memulai kehidupan. Saya yakin, dia tidak akan menghapus kenangan sebagian waktu hidupnya di sini.

Meski mungkin dia tidak tahu, telah banyak perubahan dan kejadian ketika ia meninggalkan kampung halaman. Pak Surip, guru matematika yang mengajari Anis Ramadhan dengan penuh kasih sayang hingga dia pandai di bidang fisika, sudah mangkat sekitar dua tahun silam. Pak dhe Salim, kakak dari Ibu, juga sudah dipanggil yang kuasa beberapa waktu lalu. Adalagi, kali di belakang rumah yang dulu waktu kecil Anis Ramadhan suka memancing, kini sudah jadi selokan kecil. Desa ini juga sudah tak ramah lagi. Namun ku yakin desa ini juga merindukanmu, Anis Ramadhan.

***
Hari ini,    3 April. Sang  surya yang jenuh kembali muncul dari ufuk timur. Inilah hari yang ku tunggu. Sudah kusapu bersih halaman rumah yang tak seberapa luas ini. Tak lupa kupel dan kuberi parfum seluruh ruangan rumah layaknya akan menyambut tamu agung. Padahal adik kandungku sendiri yang akan pulang ke rumahnya, rumahnya sendiri. Namun bagiku,  ini adalah ujung dari penantian panjang. Sudah lama aku gerah dengan kata-kata tetangga yang bilang bahwa kau tidak akan pulang, Anis Ramadhan. Kata mereka kau sudah melupakan kakakmu, karena kau sudah sukses di sana.

Sekaranglah saatnya kau tunjukan, kau bukan adik durhaka, Anis Ramadhan. Kita bungkam orang-orang yang  pernah meremehkan kita. Tunjukan bahwa kau sudah menjadi orang besar sekarang.
Jarum  jam seolah berjalan sangat lamban. Tengah hari berlalu, belum jua nampak tanda-tanda kepulanganmu kemari, Anis Ramadhan. Apakah kau tak jadi datang hari ini ?

Dan, ketika sebuah nomor dengan kode Australia berkedip memanggil dari ponsel tuaku, bergegas ku terima. Ternayata Pak Darmawan, staf kedubes yang mengabarkan padaku : “Anis Ramadhan, adik kandung bapak, tak jadi pulang hari ini, mungkin liburan tahun depan Ia bisa kemari, ia hanya nitip salam”, kata-kata yang membuat jantungku seolah berhenti. Air mata hangat dari mataku keluar, menandakan rapuhnya hati dan betapa besar rinduku. Kini penantianku harus diperpanjang satu tahun lagi. Tapi di rumah ini, akan kunanti kepulanganmu, sampai kapanpun, barang satu tahun, dua tahun, sewindu, dua windu, hingga hilang pandangan mata dariku. Aku tetap menanti kepulanganmu, Anis Ramadhan, adikku tercinta.

Banjarnegara, 2012


Adi Esmawan- Cerpenis aliran realis, lahir dan besar di Wanayasa, Banjarnegara.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support