Masalah “patung
dan gambar” menurut fiqh Islam kekinian masih saja memicu kontroversi, perdebatan
bahkan pertentangan.
Hal ini
wajar. Karena Indonesia adalah mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia namun
dibeberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan lainnya, berbagai
patung tinggi menjulang kita jumpai di sana sini. Lalu sebenarnya, apa hukum
patung dan gambar dari sudut pandang hukum Islam?
Juga masih
segar dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu publik dihebohkan dengan aksi
sweeping Front Pembela Islam (FPI) yang mencegah Bupati Purwakarta Dedi Mulyana
memasuki kota Jakarta. Alasanya menurut FPI, Bupati Dedi dianggap menyebarkan
kemusyrikan dengan membuat banyak patung di berbagai pusat kota Purwakarta.
Entah patung-patung tersebut bertujuan untuk mempercantik kota dengan nuansa
seni atau tujuan lainya.
Nah,
berikut penjelasan yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sutarwan Nawawi (Guru
Penulis di Pondok Pesantren Al Fatah Banjarnegara, Jawa Tengah) tentang hukum
patung dan gambar menurut hukum Islam.
Dalam
terjemahan bahasa Arab, gambar atau foto disebut dengan kata “tashwir”. Dalam
hukum Islam tashwir mempunyai beberapa hukum. Hukumnya tidak satu hukum tetapi
ada beberapa tinjauan.
Karena
tashwir mempunyai jenis yang berbeda-beda, karena itu hukumnya pun berbeda.
Tashwir
jenis yang pertama ialah timtsal yaitu membuat patung. Entah itu terbuat dari
batu atau kayu atau juga dengan sejenis materi yang keras yang bisa dibentuk dengan
berbagai macam bentuk.
Dalam
hal ini ulama bersepakat atas keharamannya, yaitu mengharamkan semua gambar
yang bertubuh seperti patung hewan dan manusia. Karena yang demikian ini lah
yang mendapat ancaman besar dari Allah SWT dan RasulNya SAW melalui
hadits-haditnya.
Dan
dalam kaidah ushul fiqh dikatakan, adanya ancaman atas sesuatu tententu dalam
nash-nash syari’i merupakan penjelasana atas keharaman hal tersebut. Rasul SAW
bersabda:
إن أشد الناس عذابًا يوم القيامة المُصَوِّرون
“sesugguhnya
manusia yang paling keras siksaannya nanti di hari kiamat ialah al-mushowwirun
(orang-orang yang membuat patung)”
الذين يضاهئون بخلق الله
Dalam riwayat lain disebutkan “mereka yang menyerupai/menandingi ciptaan Allah (membuat patung makhluk menendingi ciptaan Allah).” (HR Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits qudsi, Allah SWT berfirman :
ومن أظلم ممن ذهب يخلق خلقا كخلقي..........
“siapakah yang lebih zolim daripada mereka yang menciptakan makhluk seperti makhlukku…….….” (HR Bukhori dan Muslim)
Dan
patung juga merupakan penyebab dimana malaikat dak akan masuk kerumah yang ada
patungnnya. Dan adanya mailakat di rumah setiap muslim ialah bentuk rahmat yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada orang tersebut.
Berarti
jika malaikat itu tidak mau masuk, itu sama saja Allah Mengharamkan rahmat-Nya
untuk orang tersebut. Rasul SAW bersabda:
“sesungguhnya malaikat tidak akan memasuki rumah yang didalamnya ada patung
……..” (HR Bukhori dan Muslim)”
Sebagian
ulama mengatakan bahwa salah satu sebab kenapa malakait tidak mau memasuki
rumah yang didalamnya ada patungnya ialah, karena si pemilik patung itu telah
bertasyabbuh/menyerupai orang kafir; karena mereka membuat patung yang kemudian
patung itu mereka agung-agungkan.
Pengecualian
Mainan Anak-anak
Namun
dalam hal ini dikecualikan patung semacam apa yang sering dimainkan oleh
anak-anak. Tidak mengapa, karena apa yang dimainkan oleh anak-anak tersebut
yang berupa patung-patung, itu tidak diciptakan untuk menandingi ciptaan Allah
atau bahkan mengagung-agungkannya.
Disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dengan sanad yang shohih, bahwa
dimasa awal pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang ketika itu masih kecil,
aisyah sedang bermain bersama dengan anak perempuan lainnya.
Dan
diantara mainan anak-anak tersebut terdapat sebuah patung kuda kecil bersayap
yang membuat Rasul SAW bertanya kepada ‘Aisyah : “apa itu wahai ‘Aisyah?”.
Kemudian ‘Aisyah menjawab “ini kuda wahai baginda Nabi”.
Kemudian
Nabi bertanya lagi: “apakah kuda mempunyai 2 sayap?”. ‘Aisyah membalas: “apakah
kau belum mendengar bahwa Sulaiman mempunyai kuda yang punya 2 sayap?”.
Mendengar jawaban itu Rasul SAW tertawa hingga gigi grahamnya terlihat.
Jenis
Tashwir Kedua :
jenis
tashwir yang kedua ialah lukisan tangan, yaitu berupa kesenian yang dilukis
baik itu diatas kertas atau tembok atau baju, kaos dan sejenisnya.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang keharaman dan kebolehan hal tersebut. Dr. Yusuf Al-Qorodhowi dalam kitabnya Al-halal wal-Harom [الحلال والحرام] membahas tantang masalah lukisan ini. Beliau menjawab :
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang keharaman dan kebolehan hal tersebut. Dr. Yusuf Al-Qorodhowi dalam kitabnya Al-halal wal-Harom [الحلال والحرام] membahas tantang masalah lukisan ini. Beliau menjawab :
Hukum
lukisan itu tidak bisa ditetapkan kecuali setelah dilihat dan ditinjau, untuk
apa lukisan itu dibuat? Dimana lukisan itu dibuat? Dan apa tujuan si pelukis
melukis itu?
Jika
lukisan itu diniatkan oleh pelaku untuk sesembahan dan pengagungan selain
kepada Allah SWT seperti melukis hewan Sapi, yang hewan itu ialah sesembahan
orang-orang Hindus. Maka pelukisnya telah kufur karena kelakuannya telah
menyalahi tauhid dan lukisannya itu jelas haram.
Ini
didasarkan oleh hadits Nabi SAW yang telah lewat diatas tadi :
"sesugguhnya manusia yang paling keras siksaannya nanti di hari kiamat
ialah al-mushowwirun” (HR Bukhori dan Muslim)
Imam
Thobroni mengatakan : "yang dimaksud dengan kata mushowwir dalam hadits
tersebut ialah orang yang menggambar/melukis lalu kemudian lukisannya itu
dijadikan sembahan"
Dan ia
dengan sengaja melukis untuk tujuan itu. Maka karena perbuatannya itu ia
menjadi kafir. Dan kalau ia melukis bukan untuk tujuan itu maka ia tidak menjadi
kafir namun ia berdosa.
Yang
juga haram ialah lukisan yang bertujuan tidak untuk sesembahan namun untuk
menandingi ciptaan Allah SWT atau menyerupainnya. Ini sesuai dengan hadits Nabi
SAW diatas:
أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله
“sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya dihari kiamat ialah mereka yang menyerupai/menandingi ciptaan Allah (membuat patung makhluk menandingi ciptaan Allah).” (HR Muslim)
“sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya dihari kiamat ialah mereka yang menyerupai/menandingi ciptaan Allah (membuat patung makhluk menandingi ciptaan Allah).” (HR Muslim)
Ini
tergantung atas niat si pelakunya. Kemudian yang juga diharamkan ialah lukisan/gambar
orang-orang yang disucikan dalam ritual kegamaan seperti gambar-gambar
malaikat, para Nabi dan juga para Wali atau orang-orang sholeh. Karena
perbuatan yang demikian itu termasuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Adapun
gambar atau lukisan lain yang tidak dilukis untuk tujuan yang telah dijelaskan
diatas. Kalau itu gambar yang tidak bernyawa seperti gambar pegunungan, kebun,
mobil, motor dan semisalnya maka itu tidak mengapa, boleh-boleh saja.
Adapun
jika itu gambar yang bernyawa, namun itu bukan karena tujuan yang telah
dijelaskan diatas itu tidak mengapa. (lihat al-halal wal-harom hal 96)
Namun
ada juga ulama lain yang mengatakan bahwa lukisan tangan yang boleh hanyalah
lukisan yang tidak mengandung nyawa. Adapnun jika lukisan itu bernyawa maka itu
hukumnya sama dengan patung yang jelas mendapat ancaman keras dari Allah dan
Rasul-Nya.
Dan gambar
bernyawa itu dibolehkan jika kepala tidak tergambar sempurna. Seperti lukisan
orang yang sedang membaca kitab dan mukanya tertutup sebagian oleh kitab itu.
Atau
juga tertutup dengan bunga yang sedang dipegangnya. Karena muka adalah gambaran
nyawa dan jika muka itu tidak tergambar sempurna maka itu bukan disebut makhluk
bernyawa. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits nabi SAW.
Diantaranya
ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam An-nasa’i yang menyebutkan bahwa jibril
pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk memasuki rumahnya dan rasul
mengizinkannya. Namun ia menolak untuk masuk dan berkata:
كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُءُوسُهَا......
كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُءُوسُهَا......
“bagaimana aku masuk kerumahmu sedangkan didalamnya ada satr (sitar/kain penghalang) yang ada gambarnya. Kalau memang harus begitu, potonglah kepalanya……” (HR An-Nasa’i)
Jenis
Tashwir Ketiga:
Yaitu
tashwir dengan menggunakan kamera atau video. Jumhur (kebanyakan) ulama melihat
ini adalah perbuatan yang boleh-boleh saja. Tidak ada keharaman didalmnya.
Karena
pada hakikatnya memotret bukanlah aktifitas tashwir yang diharamkan yaitu
penciptaan atau menyerupai ciptaan Allah SWT. Sebagaimana yang disinggung dalam
hadits-hadits diatas tadi yaitu dengan kata yakhluqu ka kholqi (menciptakan
seperti ciptaan ku) atau juga yudhohi’una kholqollahi (mereka yang menyerupai
ciptaan Allah). Nah inilah sebab pengharamnanya.
Memoto
atau memotret walaupun disebut dengan aktifitas membuat gambar, namun itu tidak
diharamkan karena tidak ada illat(sebab hukum) pengharamannya seperti pembuatan
patung.
Dalam
kaidah ushul fiqh disebutkan :
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
“hukum itu berlaku sesuai dengan ada tidaknya illat hukum tersebut.”
Foto
pada hakikatnya ialah menahan bayangan suatu benda dan bukan menciptakan.
Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai proses penciptaan gambar kecuali dalam
makna kiasan.
Dalam
proses penetapan suatu hukum, yang menjadin pedoman ialah hakikat itu sendiri
bukan nama yang digunakan. Dan juga kebolehan kegiatan ini bukan tanpa syarat.
Pengambilan foto ini dibolehkan jika objek-objek yang diambil adalah objek yang
halal juga, seperti hewan, bangunan, pemandangan alam dan sebagainya.
Seperti kebutuhan setiap orang akan urusan admidnistrasi yang memang diharuskan untuknya menjadi objek potret. Semisal untuk kartu identitas, passport dan sebagainya.
Dan
menjadi haram juga jika objek yang dipotret adalah objek yang haram juga,
seperti wanita telanjang atau gambar-gambar yang mengundang syahwat. Tapi apa
gunanya seorang muslim memotret objek-objek haram semacam itu? Atau
menyimpannya malah di lemari dan di pajang ditembok kamar. Dan itu jelas
keharamannya.
Walaupun
demikian, memang dalam masalah ini tidak luput dari perbedaan pendapat dari
para ulama. Namun penulis melihat bahwa kebanyakan ulama memboleh kan ini.
Diantara ulama yang membolehknnya ialah Dr. Yusuf Al-Qordhowi, Sheikh Sholeh
Utsaimin, Skeih Arifi, Dr. Muhammad Al-‘Umrowi juga Dr. Ali Jum’ah dan beberapa
ulama lainnya.
Demikian
penjelasan Ustadz Sutarwan, silahkan disimpulkan sendiri.
Walahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar