Jumlah juru dakwah (baca:
penceramah) terus menjamur bak cendawan di musim hujan. Kita lihat di layar
kaca, da’i-da’i baru bermunculan dengan ciri khasnya masing-masing. Pengikutnya
juga bukan main. Dari anak-anak muda sampai ibu-ibu rumah tangga. Ini mungkin
bisa dianggap sebagai berita yang menggembirakan bagi perkembangan syi’ar
Islam. Namun, bagaimana jika bukan dakwah yang menjadi tujuan mereka?
Kita tahu dan faham
betul, bahwa banyak da’i yang muncul di layar kaca adalah hasil produksi media
meskipun tidak semuanya. Karena produksi media, maka Ia dibesarkan oleh media.
Dan bisa ditebak, bukan dakwah yang menjadi tujuan utama melainkan popularitas
dan “penghasilan” atau bahkan menjadi corong propaganda golongan tertentu.
Mereka kebanyakan
digodog secara instan lewat ajang pencarian bakat. Modal utama adalah kemampuan
menguasai panggung dan skill berpidato. Perkara ilmu, ah, hafal dua atau
tiga hadist serta menekuni Al Qur’an terjemah sudah beres dan kelihatan
mumpuni.
Akibatnya, kita
terlalu banyak disuguhi para penceramah, bukan ulama yang menyampaikan ilmunya.
Kita dijejali banyak “figur” tetapi miskin “teladan”. Padahal, metode dakwah
yang terbaik adalah dengan teladan atau contoh perbuatan, sebagaimana kaidah
terkenal : “Lisanul Hali Afshohu min lisanil maqoli” artinya : bahasa
perbuatan itu lebih baik daripada bahasa lisan.
Kita terlalu jemu dengan kata-kata,
pidato-pidato meskipun menyitir ayat-ayat Al Qur’an dan hadits. Kalau hanya
sekedar berbicara, banyak orang yang mampu dan mau. Mereka lupa, bahwa Alloh
SWT mengingatkan dalam Q.S As Shoff ayat 2-3 yang artinya :
“Wahai orang-orang
yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar
kebencian di sisi Alloh, pada orang yang mengatakan (mengajarkan) apa yang ia
sendiri tidak melakukanya” (Q.S As Shoff ayat 2-3)
Dari firman Alloh di
atas, kita akan tahu betapa besar tanggung jawab seorang ulama dan juru dakwah.
Mereka dituntut mengamalkan apa yang
mereka katakan. Bukan hanya asbun alias asal bunyi. Dan di era sekarang ini,
sangat sedikit da’i penceramah apalagi “ulama artis” yang juga berfungsi
sebagai teladan.
Meskipun demikian,
masih ada ulama-ulama yang menjadi teladan bagi masyarakatnya. Mereka yang
mengajar ngaji di kampung-kampung, di sudut perkotaan, di dusun-dusun, di
bilik-bilik pesantren, di mimbar-mimbar masjid kecil atau mushola, di
majelis-majelis ilmu dan jauh dari ketenaran popularitas. Mereka yang terdidik melalui sistem pendidikan Islam atau
pesantren dengan waktu yang cukup lama. Mereka yang telah mengamalkan apa yang mereka
dakwahkan. Itulah ulama yang benar-benar sebagai lentera umat.
Kita butuh figur
teladan untuk menyelamatkan umat dan generasi, bukan omong kosong dari industri
media.
Adi Esmawan, Pengasuh
jurnalva.com
0 komentar:
Posting Komentar