Hati kita semakin
hari semakin keruh. Kesalahan demi kesalahan, terus saja kita tancapkan dalam
sadar maupun tanpa sengaja. Berbangga diri dalam hidup, berlomba
bermegah-megahan, mencintai dunia dengan teramat berlebihan, kikir, hingga
bersikap sombong adalah penyakit hati yang dengan mudah mewabah, menjangkiti
siapa saja.
Ramadhan adalah
momentum bersih-bersih hati. Saat yang tepat untuk menyesal dan bertaubat
dengan sebenar-benarnya taubat. Allah akan mengampuni dosa-dosa kita yang telah
lampau jika kita berpuasa dan beribadah dengan tujuan hanya mengharap ridho
Allah semata. Bukan berharap yang lain.
Ramadhan memang
istimewa. Bulan dimana masjid dan mushola, baik di penjuru kota maupun di dusun-dusun
tiba-tiba bergeliat penuh semangat. Awal-awal ramadhan, shaf-shaf terisi dengan
rapi. Kegiatan-kegiatan dadakan menghiasi, seperti ceramah kultum, tarowih keliling, taddarus, buka bersama,
hingga Pesantren dadakan alias pesantren kilat.
Bukan hanya itu,
acara di televisi tiba-tiba bersolek diri dengan nuansa Islami. Artis-artis
yang biasanya mengumbar aurat dan menjadi agen propaganda kemaksiatan,
tiba-tiba menyalin rupa dengan tampilan religius dengan program berbau
ramadhan.
Para pejabat dan
aparatur birokrasi tidak mau kalah. Berbagai program religius digulirkan.
Media-media juga berlomba memberitakan, menayangkan, memprogramkan, dan
menyajikan berbagai serba-serbi ramadhan dengan ide kreatifnya masing-masing.
Yang tidak kalah
mencengangkan, sektor ekonomi juga menunjukan geliat dan harga-harga mengalami
fluktuasi lonjakan di luar nalar. Hal ini karena Ramadhan di negeri ini
menganut madhzab ekonomi suplai and demand. Permintaan dan daya beli
masyarakat meningkat tajam di bulan ramadhan. Artinya, konsumsi justru
melonjak.
Tentu, segala
fenomena di atas adalah sah-sah saja. Tapi, mari kita merenung sejenak. Apakah
ramadhan hanyalah penanda atau simbol “sok
religius” yang bersifat musiman? Seperti saat Agustusan yang tiba-tiba
menyulap kita menjadi sok nasionalis?
Jika ia, maka ini
gelagat berbahaya bagi keislaman kita. Atau jangan-jangan, kita memang hidup
dalam kubangan kepura-puraan dan kepalsuan? Sehingga segala sesuatunya berada
di alam simbol dan ritual formal.
Tauladan kita Nabi
Muhammad SAW telah memprediksi bahwa
umat Islam di akhir masa seperti buih di lautan. Mudah diombang-ambing dan
hanya sebatas simbol.
Maka ramadhan tahun
ini, semoga bukan hanya tampilan kita yang mendadak religius. Namun hati,
ucapan, pemikiran dan pengamalan hidup semakin taqoruub atau dekat dengan
Rabbul Alamin.
Marhaban Ya Syahro
Romdhon, marhaban syahro siyam.
Adi Esmawan, pengasuh
www.jurnalva.com
0 komentar:
Posting Komentar