Akui saja, bahwa kita
terlalu sering lupa kepada Alloh. Baik sengaja maupun tidak sengaja. Jika saat
ingat kepada Alloh kita sebut “on” dan saat lupa kepada Alloh kita sebut “off”,
maka kita lebih sering “off”-nya daripada “on”. Dan off itu mati, on adalah
hidup.
Sebagaimana
perumpamaan orang yang berdzikir (ingat) kepada Alloh dengan orang yang tidak
berdzikir kepada Alloh, adalah laksana orang yang hidup dengan orang yang mati.
Maka betapa banyaknya mayat-mayat hidup yang dengan bangga tertawa terbahak
padahal ia melupakan siapa Penciptanya dan untuk apa Ia diciptakan.
Alloh SWT berfirman :
“Yaa ayuhaladzina amanu latulhikum amwalukum wa laa auladukum ngan
dzikrillah, wa ma yafngal dzalika faulaa-ika humul khosirun... Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta kekayaan dan
anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Alloh, dan barang siapa yang melakukan
itu, maka termasuk orang-orang yang rugi. (QS Al Munafiqun Ayat 9)”
Dan ternyata, kita
lebih memilih menghindari rugi dalam urusan jual-beli daripada rugi di
kehidupan yang akan datang (akhirat). Kita lebih takut bangkrut dalam berusaha,
daripada takut tidak diridhoi oleh-Nya. Sering kali, bahkan tiap saat, harta
dan anak-anak, keluarga telah melalaikan kita dari mengingat Alloh, Raab
semesta alam.
Ada baiknya, kita
merenung sejenak. Fa aina tadzhabun? Mau kemanakah kita? Semua orang
sebenarnya sadar, bahwa kita menuju pada keringkihan, masa tua, kemudian
kematian akan datang dan mengakhiri segala pencapaian kita di dunia. Kemudian
perjalanan baru lagi teramat panjang baru dimulai. Tapi kenapa kita terkecoh
pada kehidupan sementara? Wa mal khayatud dunya illa matangul ghurur.
Maka mari kita
perbanyak dzikir (mengingat) kepada Alloh. Baik diwaktu siang maupun petang.
Dalam keadaan berdiri, duduk maupun terbaring. Di tempat kerja, di toko, pasar,
kendaraan, di gubug-gubug tengah sawah dimanapun dan kapanpun. Berdzikir yang
sesungguhnya adalah hati mengingat Alloh dengan menyebut asmanya dengan lembut
dan tanpa perlu mengeraskan suara. Karena sesungguhnya Alloh itu “ngalimum
bidza tis sudur”, maha tahu apa yang ada di hati. Kecuali jika memang
berkepentingan untuk mengajarkan kepada yang lain kalimah dzikir, maka tidak
apa menjaharkan (mengeraskan) suara. Masalah teknis tidak perlu diperdebatkan.
Terpenting jiwa mengingat Alloh, bukan hanya di lisan saja.
Satu hal lagi, bahwa
Al Qur’an adalah tadzkiroh atau pemberi peringatan. Maka jika kita
sedang galau, resah, dan hati tidak tenang, bersegeralah mengambil
mushaf dan bacalah Al Qur’an itu dengan pelan (tartil). Semoga ia akan memberikan
peringatan kepada kita dari bertindak keji dan munkar, serta sebagai kabar
gembira agar kita senantiasa berbuat baik dan menebar kasih sayang bagi semesta
alam.
Semoga menginspirasi.
Salam
Adi Esmawan, Pengasuh
Jurnal Inspirasi
0 komentar:
Posting Komentar