Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah

Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...

Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur

Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya

Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.

Bayang-Bayang Ijazah Instan

Kita kembali tersentak dengan terkuaknya jual beli Ijazah berikut gelar akademik. Tidak tanggung, yang terlibat dalam skandal memalukan ini adalah kalangan pejabat tinggi, anggota parlemen, hingga civitas akademika yang seharusnya ikut menjaga kesucian dunia pendidikan.

Mungkin, terkuaknya kasus ini di mata publik hanya fenomena puncak gunung es. Dimana pada alam nyata, jual beli ijazah dan gelar adalah hal biasa. Ini bukan hanya kepalsuan legalitas, melainkan bentuk penghinaan terhadap ilmu pengetahuan.

Dalam ranah pendidikan, gelar dan ijazah hanya dapat diperoleh jika sudah menjalani serangkaian proses yang panjang. Ia adalah simbol pengakuan kualitas keilmuan dengan tahapan-tahapan prasyarat  yang mengharuskan perjuangan dan olah kemampuan. Transkip nilai bukan hanya angka-angka semu melainkan predikat kemampuan yang sudah teruji dan terbukti.

Nah, jika gelar dan ijazah dapat dibeli dengan uang tanpa melewati serangkaian proses sebagaimana rule akademik, maka alangkah hina dunia pendidikan di negeri ini. Dimana orang-orang yang hanya “berduit”, tanpa kemampuan dan perjuangan, dapat menyandang gelar akademik.

Atau mungkin karena dunia pendidikan di negeri ini sudah kadung korup dan telah lama menyalin diri sebagai institusi korporasi. Logika yang dipakai adalah menempatkan ilmu sebagai komoditas, sedang ijazah maupun gelar adalah entitas utama. Masyarakat dan peserta didik hanyalah konsumen dengan relasi simbiosis mutualisme alias sama-sama untung.  Uang memegang daulat tertinggi.

Dalam dunia pendidikan di pesantren tradisional, ijazah hanya dapat diberikan setelah santri melewati tingkat demi tingkat atau tahapan yang tidak mudah. Serangkaian prosesi dan uji kemampuan benar-benar dilakukan dengan jujur dan menjunjung tinggi etika akademik. Maka Ijazah atau syahadah yang diperoleh merupakan bukti shahih pengakuan keilmuan.

Dalam kitab klasik yang populer di kalangan pesantren “Ta’lim Muta’alim Tharekat Ta’alum”, memposisikan ilmu pengetahuan  dengan pangkat tertinggi. Ia harus diperlakukan di atas segalanya. Ilmu sebagai hal yang tidak ternilai dan tidak akan tergadai oleh berapapun nilai uang. Maka jangan heran jika kitab ini memerintahkan pencari ilmu untuk tidak menaruh buku di tempat sembarangan, menghormati dan memuliakan guru sebagai sumber ilmu, dan  disarankan untuk dalam keadaan suci (tidak berhadast), ketika mengikuti majelis ilmu.

Dunia pendidikan umum  perlu belajar dari pesantren.
Salam inspirasi.

Author : Adi Esmawan, owner www.jurnalva.com


Share:

Semuanya Soal "Batas Waktu"


Kehidupan ini mengisahkan berbagai cerita. Karena setiap umat, punya batas waktu. Jika batas waktu itu telah habis, tak  ada power apapun yang sanggup untuk menundanya barang sedetik. Apalagi mempercepat. Wa likulli ummatin ajal.

Setiap manusia, boleh dan sah-sah saja bercita-cita setinggi langit. Seorang direktur, silahkan saja membuat perencanaan majanemen untuk jangka panjang, misalnya setengah abad ke depan. Para pemangku kekuasaan silahkan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Tapi sekali lagi, jangan melupakan “batas waktu” sebagai pertimbangan utama. Karena banyak sekali mega-proyek berjangka panjang akhirnya karut-marut karena kehendak waktu berkata lain.

Ada baiknya, kita merenung dari peristiwa gempa di Nepal beberapa waktu lalu. Nyaris, peradaban dalam negeri itu terluka cukup dalam. Kondisi seperti itu tentu saja mengaburkan apa yang normal : soal anak-anak yang bersekolah, himpunan keluarga, laju sebuah perusahaan, hingga jenjang karir dan segala pencapaian. Semuanya ludes tanpa ada power apapun  yang sanggup mencegah.

Dunia penuh dengan sejuta kemungkinan. Ajaran-ajaran agama samawi  selalu menyebutkan “kuasa Tuhan” dan hukum-hukum Ketuhanan sebagai power paling berkuasa atas kehidupan jagad raya ini. Ya, benar. Tuhan dengan segala ke-Maha-anya adalah pemegang tunggal intervensi atas apa yang terjadi. Ini bagi umat yang percaya.

Namun soal hukum “batas waktu”, tak ada seorangpun yang sanggup mengingkari, baik yang percaya ataupun tidak percaya Tuhan. Ibarat lomba lari, semua dihitung mundur dengan stop wacth. Manusia punya tenggat waktu periodik yang akan habis masa.
 Semuanya serba terbatas. Siapapun yang memiliki, pasti punya batasan. Ada saatnya ia harus rela meninggalkan apa yang dimiliki.  Wajah tampan atau paras cantik misalnya. Ia sangat terbatas. Bahkan umat beragama meyakini, bahwa segala sesuatu yang ada akan rusak binasa, kecuali esensi Tuhan. Kullu syai’un halikun illa wajhah.
Beruntunglah pepohonan, yang akhir hidupnya kemudian menjadi lebih mulia. Pohoh-pohon yang mati ditebang itu, dibuat kursi atau bahan bangunan. Hidupnya bermanfaat, dan sudah matipun lebih bermanfaat.

Semua ada batas waktunya. Termasuk  wewenang dan kekuasaan. Ini sangat terbatas. Bahkan secara periodik telah ditentukan oleh manusia dan Undang-Undang. Presiden maksimal dua periode. Pegawai negeri maksimal 60 tahun. Sebuah batas yang kasat mata.

Jadi, marilah berkaca diri. Siapapun tidak berhak untuk merasa besar dan kemudian meremehkan orang lain sesama manusia. Dengan apapun alasanya. Apalagi mereka yang sedang diberi amanah untuk berkuasa. Sama sekali tidak ada hak untuk menggunakan kekuasaanya sebagai jalan kesewenang-wenangan.
“Dan berlaku adil-lah, karena adil lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu berlaku tidak adil”, begitu pesan kitab suci Al Qur’an yang mulia.


Salam inspirasi.

Adi Esmawan, owner www.jurnalva.com
Share:

Desa : Tumbuh Ekonomi, Mati Budaya

Membandingkan saat  ini dengan masa lalu memang tidak bijak. Namun setidaknya, masa lalu adalah cermin untuk melangkah ke masa depan yang lebih cerah.  Masa lalu, sekarang, dan masa depan layak kita sandingkan untuk diambil pelajaran. Dan kita akan mendapati suatu hal yang mendasar, yakni perubahan.

Perubahan memang keharusan waktu. Tidak seorangpun yang bisa menghentikan laju zaman. Kondisi pedesaan di masa lalu dengan masa sekarang sudah berbeda jauh. Teknologi dan arus informasi  telah  menyulap wajah desa hingga seperti sekarang ini.

Ada sisi kebahagiaan, dimana infrastruktur tumbuh pesat. Jalan-jalan aspal nan mulus merambah hingga pelosok. Televisi parabola bukan hal mewah. Demikian juga ponsel, sepeda motor dan mobil. Semuanya sudah menjadi hal biasa bagi kehidupan masyarakat desa.

Pertumbuhan ekonomi dan laju industri telah menjamah kehidupan desa dengan sedemikian rupa. Ekonomi kreatif atau industri kreatif bukan lagi  tersentral di perkotaan. Mungkin inilah yang disebut sebagai progresifitas pembangunan.

Namun ibarat dua sisi mata uang, ada beberapa hal  yang ikut tergerus oleh perubahan. Ya, benar. Hal tersebut adalah kebudayaan. Kebudayaan dalam makna yang seluas-luasnya. Bukan hanya terfokus pada tradisi dan entitas budaya macam tari-tarian dan upacara adat. Itu simbol formal kebudayaan dan bukan kebudayaan itu sendiri. Makna hakiki dari kebudayaan adalah cara hidup.

Secara kasat mata, masyarakat desa sudah kehilangan identitasnya sebagai penduduk yang arif, tangguh, pekerja keras, ramah, dan menjunjung tinggi kebersamaan. Lebih parah lagi, masyarakat di pedesaan sudah kehilangan cara pandang terhadap dunia (world view).

Gaya hidup perkotaan yang menyuguhkan sederet  kesenangan, hidup mudah dengan teknologi, kerja ringan di balik meja kantor, bermadzhab “yang penting hepy”, hingga semuanya diukur dari pencapaian materi membuat anak-anak muda dipedesaan silau dan tergoda.

Mereka, bukan hanya bermigrasi secara fisik dari desa ke kota dengan menjadi perantau atau buruh migran. Namun juga memindahkan cara hidup mereka menjadi gaya kota. Maka jangan heran jika ada anak-anak muda kita berubah total  sekembalinya dari Jakarta.

Apakah ini mengkhawatirkan? Bisa ia, bisa tidak. Mengkhawatirkan jika semua generasi muda bernafsu ingin hijrah ke kota dan meninggalkan potensi desa. Ini gejala bahaya. Saat ini, anak-anak muda selepas  lulus sekolah ingin bekerja di kantoran dan ogah mengikuti jejak ayah-bundanya bertani di sawah.

Nah, kalau semua anak bercita-cita sebagai manajer, direktur, kerja di pabrik, lalu siapa yang akan menyediakan kebutuhan pangan bagi negeri tercinta? Masalah pangan bukanlah masalah sederhana. Seluruh bangsa di dunia menghadapi problematika serius di bidang kebutuhan pangan.

Nah, itu baru sebagian kecil soal sisi lain kehidupan perdesaan. Tumbuh ekonomi mati budaya akan berlanjut di lain waktu. Salam inspirasi.


Adi Esmawan, pengasuh jurnalva.com


Share:

Cerpen : "Misteri di Malam Kelam"


Aku masih mengenang peristiwa itu. Kala remang-remang lampu jalan menyamarkan malam. Saya hendak pulang dari berjualan roti bakar. Pedagang sate dan kue serabi juga sudah berkemas-kemas hendak pulang ketika kegaduhan disusul letusan pistol mengagetkan rasa kantuk. Dan kami terperanjat, ketika sosok pemuda  lumpuh terkena timah panas di kaki kirinya, kemudian diringkus sekawanan polisi. Aku bergidik sambil tetap mengemasi dagangan di gerobak.

“Adnan?”, gumamku pelan sambil melongo seakan masih tak percaya. Pemuda tanggung itu merintih kesakitan ketika tubuhnya diseret setengah paksa dan dicampakan di mobil polisi.  Kemudian insiden itu berlalu dengan cepat.

Paginya, saya baru tau. Bocah baru gede itu ditangkap polisi karena diduga  terkait sekawanan begal. Ah, aku masih saja ragu. Adnan yang ku kenal orangnya baik. Pemuda tampan itu sering membeli roti bakar daganganku dan orangnya ramah. Tak dinyana, ia anggota komplotan begal. Dan beberapa bulan kemudian ia divonis hakim tiga tahun penjara. Katanya, ia hanya berperan sebagai juru informasi.

Dan kini, Adnan tengah kembali ke kampung ini. Ia menjadi buah bibir ibu-ibu yang hobi mewartakan gosip hangat. Kabar terbaru, sebagian besar warga baik bapak-bapak maupun ibu-ibu hendak berdemo di depan rumah Pak Karim, orang tua Adnan. Ya, mereka hendak mengusir Adnan agar tidak lagi tinggal di kampung ini.

“Pak, kita nanti ikut demo nggak? nanti dibilang tidak kompak lagi?”, Istriku  yang sedang menjahit membuka percakapan.

“Ah, nggak usah ikut-ikutan. Wong rumah-rumahnya dia. Lagian dia kan sudah dihukum sama negara to?”, sahutku menimpali sambil menyeruput kopi hangat. “Coba kalau si Adnan itu anak kita, kan kasihan”.

“Ih, amit-amit. Tapi kan, kata Bu RT dia sudah meresahkan dan merusak nama baik kampung kita Pak”.

“Ya, terserah Ibu saja kalau mau ikutan demo. Aku sih ogah”.
“Ihh, bapak nggak kompak. Diomelin tetangga baru tau ntar”.
Saya terdiam tak menanggapi. Kemudian merenung, menerawang langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan sarang laba-laba , lama tidak dibersihkan. Ada selaksa bayangan wajah Adnan yang tiba-tiba muncul dalam lamunan pikiranku.

Kasihan dia. Usianya masih sangat muda. Mungkin hanya selisih dua tahun dari anak pertamaku yang masih 18 tahun. Masa  depanya masih sangatlah panjang. Seharusnya penduduk memperlakukannya dengan baik dan membawanya kembali ke jalan yang benar.

“Bu, aku tidur dulu ya. Bangunkan aku sebelum ashar. Saya mau ke swalayan ambil stok roti nanti sore”, pesanku pada istriku yang masih sibuk dengan jahitanya. Ia hanya mengangguk mengisyaratkan paham.

Malamnya, seperti biasa saya kembali mangkal di trotoar dekat kelurahan menjajakan roti bakar. Tidak biasanya, malam ini begitu sepi dan lengang. Si Pardi penjual serabi dan Mang Dodo penjual sate belum terlihat. Padahal, biasanya ia datang lebih awal. Ada yang aneh.

Tiba-tiba, terdengar teriakan kegaduhan dari tengah kampung. Bersamaan dengan itu, ku lihat sesosok manusia berlari tergopoh ke arahku.  Wajahnya berdarah-darah. Kakinya terseok-seok.
“Adnan?”, sambutku sambil sedikit memapahnya yang kesakitan.
“Pak, tolong aku”, jawabnya spontan dengan nafas yang memburu. Aku mulai menebak-nebak apa yang terjadi.

“Tenangkan dirimu nak, duduklah”, pintaku dengan nada kebapak-bapak-an.

“Rumahku sudah dibakar warga, bapak-ibuku dihajar beramai-ramai. Aku akan dibunuh pak”, jawabnya sambik menahan sesegukan. Air matanya mengalir diantara luka memar di wajahnya yang masih imut.

“Astagfirulloh”, sahutku pelan. Kemudian mengamati situasi kanan kiri. Beruntung. Tak ada orang. Dan entah terdorong oleh kekuatan dari mana. Aku lantas menggendong Adnan dan berlari sekencang-kencangnya menjauh dari kampung sambil menunggu keberuntungan ada angkutan lewat.

Dan, keberuntungan segera berpihak. Ada sopir truk yang melintas dan aku menyetopnya. Lebih beruntung lagi ketika truk itu tidak berisi muatan. Kemudian dengan alasan membawa anak kecelakaan, aku izin numpang di bak belakang untuk membawanya ke Puskesmas.

“Tenanglah nak, aku akan membawamu ke tempat yang aman”, kataku pelan.

“Terima kasih pak. Kenapa bapak tidak benci padaku? Aku ini penjahat pak?”, jawabnya sambil memelukku haru.

Aku tidak menjawab. Mataku sembab menahan tangis. Oh, ada saja takdir yang kau tetapkan atas hamba-Mu Tuhan. Tapi saya yakin selalu ada hikmah di balik peristiwa ini.

Dan truk berhenti tepat di depan Puskesmas Kecamatan. Kami berdua turun dan bergegas menuju ruangan utama. Disana ada petugas piket yang segera menyambut kami.

“Mohon pertolongan, anak saya kecelakaan, ia jatuh dari motor”,  ucapku pada petugas jaga. Dengan cekatan, ia langsung membawa Adnan ke ruangan  periksa.

Aku cemas. Apa yang  telah terjadi di kampungku? Gerobak roti bakarku yang kutinggalkan pasti menuai kecurigaan warga. Ah, sebaiknya aku pulang dulu membereskan segalanya dan menyusun langkah selanjutnya.

“Pak, aku titip anakku dulu, saya akan pulang mengambil uang”, pamitku pada petugas Puskesmas.

“Silahkan pak, anak anda biar istirahat di sini untuk perawatan lebih lanjut. Nanti soal identitas dan lain sebagainya segera di urus”, jawab petugas jaga itu datar.
“Baik Pak”, sahutku patuh. Segera saja saya bergegas keluar. Jalanan masih sepi. Tidak ada tanda-tanda angkutan malam. Namun semua segera teratasi ketika pangkalan ojek tak jauh dari Puskesmas.
Gerobak roti bakarku masih utuh. Segera saya membawanya pulang. Di tengah jalan menuju kampung, penduduk tampak sibuk yang tak lazim. Namun beruntung, lagi-lagi penduduk sekitar tidak menaruh curiga.
Dan, apa yang terjadi. Kampungku benar-benar mencekam. Rumah Pak Karim sudah ludes terbakar. Pak Karim dan istrinya  sekarat dihajar massa. Polisi datang terlambat seperti di film-film hollywod. Nasi sudah menjadi bubur.

Aku segera berlari menuju rumah sambil sekuat tenaga mendorong gerobak.

“Ada apa to pak, kok kayak di kejar setan”, istriku berseloroh melihat tingkahku yang tergesa-gesa.
“Kamu nggak ikut demo anarkhis ke tempatnya Pak Karim?”, tanyaku ngawur.
“Nggak to pak. Jahitan masih numpuk, memangnya sudah dimulai?”, tanya istriku penuh selidik.
“Sudahlah, kamu tidur saja. Di luar situasi gawat. Kayak sedang perang. Aku pamit keluar sebentar”. Kataku sambil menghidupkan mesin motor dan tancap gas.
Sesampainya di Puskesmas, aku bergegas ke ruangan Adnan. Betapa kagetnya, ketika batang hidungnya sudah tidak ada. Segera saya temuin petugas jaga tadi.
“Pak, dimana anak saya?”
“Lhoh, bukanya dia di kamar perawatan?”, dia bertanya balik.
“Tidak ada!”
“Tidak ada?”
Kami berdua cek balik, dan benar tidak ada siapa-siapa. Kami berdua saling bertatap muka. Kemudian saya segera bergegas keluar. Mungkin dia kabur.
Aneh, tidak ada jejak. Seperti di telan bumi.  Ku tanya warga yang berlalu juga tukang ojek. Tak ada yang melihat Adnan. Kabur ke mana kemana dia?
Aku tidak patah arang. Segera ku cari di sepanjang jalan dengan motor, mungkin dia berlari ke arah kota. Tapi hingga lima kilometer, tak ada hasil. Nihil. Dengan jiwa letih penuh penyesalan, aku memilih pulang.

Sesampainya di rumah, aku bergegas masuk kamar tamu dan menguncinya. Istriku terheran-heran. Aku tak peduli. Ku rebahkan kepala di bantal dan merenungi apa yang baru saja terjadi. Semua begitu cepat. Untunglah, di Puskesmas tadi saya belum sempat menuliskan identitas apapun. Semoga petugas jaga tadi tidak tahu.

Sepanjang malam, mata enggan terpejam. Bayangan Adnan masih hinggap di pikiranku. Kasihan sekali hidupnya. Ah, aku jadi teringat lagu Ebiet G. Ade “Kalian Dengarkanlah Keluhanku”.

Apakah buku diri ini harus selalu hitam pekat..
Apakah dalam sejarah orang, musti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana, tak pernah menghukum
Dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari matahari..
Ke manakah sirnanya, nurani embun pagi?
Yang biasanya ramah, kini membakar hati
Apakah, bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri?
Tak ada tempat lagi untuk kembali?
Kembali dari keterasingan, ke bumi berada.
Ternyata Lebih menyakitkan, dari derita panjang.

Paginya, kampung ini gempar. Insiden tadi malam segera menyebar ke penjuru. Pak Karim dan istrinya dikabarkan tewas. Nama baik kampung ini ikut ludes bersama rumah Pak Karim. Puluhan orang dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Dan anehnya, si Adnan juga dikabarkan tewas terpanggang api. Ia terjebak di dalam rumah karena takut keluar dan masa yang marah membakar rumah itu.

“Lhah, tadi malam saya menyelamatkan siapa?”, tanyaku terheran-heran.


Tempuran,   Mei 2015
Adi Esmawan, owner jurnalva.com







Share:

Kuliah itu Tidak Penting!

Eits, jangan protes dulu dengan judul di atas. Ada pandangan menyentak dari seorang inspirator sukses Almarhum Bob Sadino. Dalam acara interview di stasiun televisi swasta, beliau justru agak "ngece" dengan anak kuliahan dan menyatakan kuliah tidak begitu penting. Bob Sadino sendiri droup out alias (murung) dan hanya tiga bulan kuliah.
Di panggung dunia, ada Bil Gates, orang paling kaya nomor wahid di jagad ini juga mengatakan kuliah justru membatasi ruang belajar kita pada disiplin ilmu tertentu. Tak ayal, bos Microsoft itu memilih hengkang alias murung kuliah dari Universitas Havard dan memilih bertapa menekuni apa yang menjadi bakat dan karyanya. Alhasil, microsoft tercipta sebagai masterpic seorang Bil Gates.

Dan lebih tercengang lagi ketika mendiang Steve Job, bos Aple dan owner facebook Mark Zuckerberg, juga tidak lulus kuliah alias memilih mogok berhenti di tengah jalan. Kalau yang terkini, ada nama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang hanya berijazah SMP namun memiliki perusahaan perikanan dengan kapal dan pesawat bahkan merambah bisnis penerbangan dengan brand "Susi Air".

Pertanyaan saya selanjutnya, apakah kuliah begitu penting? Atau urusan nafsi-nafsi (masing-masing individu), dan tergantung urgensi dan situasi?

Masih di panggung sejarah, ada nama Jenderal Besar Soeharto, legenda Penguasa terlama yang memimpin negeri ini selama lebih dari tiga dasa warsa. Beliau lulusan apa? Ah, tentu bukan insinyur atau sarjana apalagi doktor. Dan pada tingkat tertinggi, adalah manusia paling mulia sepanjang sejarah menurut perspektif kami sebagai muslim, yakni Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah nabi yang tidak mengenal huruf dan angka. Namun muara segala ilmu. Adapula Maha Guru IAIN Sunan Kalijaga, KH Ali Maksum yang menyusun Kamus Al Munawir, beliau bukan akademisi tapi kualitas keilmuanya bahkan di atas level guru besar.

Jadi saya tetap menyimpulkan bahwa kuliah itu tidak penting. Atau paling tidak, kuliah bukanlah perkara fardhu ain atau syarat wajib bagi setiap individu untuk  menggapai kesuksesan. Apalagi, jika tujuan hidup kita bukan semata materi atau kesuksesan finansial. Selalu dingat, bahwa waktu membatasi segalanya, termasuk keberhasilan. Semua hal akan berganti dan tergantikan. Anda boleh saja menyusun strategi dalam jangka panjang atau perencanaan manajemen untuk berapa puluh tahun ke depan. Namun harus diingat, bahwa waktu anda untuk singgah menatap matahari begitu terbatas!

Ya, kuliah itu tidak penting! Apalagi di tengah sistem pendidikan negeri ini yang masih kacau balau, tidak menghargai proses dan tedensi yang penting ijazah. Parahnya lagi, komersialisasi pendidikan nyata di depan mata. Akses pendidikan berkualitas hanya bagi mereka yang berlimpah harta. Dan puncak kesesatan dari arah pendidikan di negeri ini adalah hanya orientasi pada aspek duniawi dan memposisikan "mahasiswa" sebagai tenaga siap pakai bagi mesin industri dan hamba korporasi.


Ya, kuliah itu tidak penting! Yang terpenting adalah ilmu pengetahuan. Memang, domain dari ilmu pengetahuan berada pada institusi pendidikan tinggi, namun perlu digarisbawahi, bahwa ruang mayantara telah menjadi universitas bayangngan dan menjadi maha guru bagi sebagian pakar di seluruh penjuru dunia.

Kuliah itu tidak penting! Setidaknya bagi sebagian orang yang lebih menganggap formalitas bukan segalanya dan lebih mengutamakan kualitas.

Tulisan ini bukan mengajak anda yang kuliah untuk mogok, apalagi memprovokasi agar anda tidak semangat kuliah. Bukan itu. Yang hendak saya sampaikan, bahwa kuliah itu bukan perkara wajib yang nanti akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Perkara wajib adalah mencari ilmu dimanapun dan kapanpun agar kita tidak tersesat hidup di kehidupan ini.

Bagi anda yang sedang berposisi sebagai "mahasiswa", apalagi kuliah di Universitas ternama, tidak perlu terlalu berbangga diri dan meremehkan sahabat-sahabat lain yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah. Karena menjadi "mahasiswa" dan duduk di bangku kuliah, bukanlah sesuatu yang "istimewa".

Dan bagi anda yang tidak bisa duduk di bangku kuliah, tidak perlu berkecil hati. Anda harus bersemangat. Siapa tau, anda adalah Bil Gates, Steve Jobs, atau Bob Sadino berikutnya yang akan membuat sejarah tercengang dan terkagum-kagum.

Salam Inspirasi


Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Hikayat Saling Bunuh Antar Manusia


Sejarah telah mengisahkan pada kita tentang deretan tragedi pertumpahan darah antar umat manusia. Sejak dimulainya kehidupan hingga detik ini, kekerasan dan saling bunuh  adalah bumbu wajib kehidupan yang tak mungkin sirna.

Jika saban hari, kita lihat kabar di televisi tentang suasana kacau balau di negara-negara Timur-Tengah akibat dilanda konflik berkepanjangan, maka itu hanya ujung kuku dari puncak gunung es bahwa sebenarnya, kekerasan dan saling bunuh itu, adalah bagian dari tabiat manusia yang menurut filsuf agung Yunani, Plato, menyebutnya sebagai “binatang yang berfikir”.

Hikayat saling bunuh itu, mungkin diawali dengan kisah Qabil dan Habil. Dalam ajaran agama-agama samawi, kisah itu terkenal sebagai tragedi pembunuhan pertama umat manusia. Apa sebab, ternyata soal iri dan kedengkian serta berebut “kekasih” menjadi faktor utama insiden saling bunuh itu. Padahal, keduanya adalah saudara kandung.
Kebiasaan saling bunuh terus berlanjut. Dalam manuskrip kuno, prasasti, atau petunjuk sejarah, kisah terdahulu selalu mengaitkan dengan peperangan, invasi, ekspansi atau deretan pertumpahan darah mengerikan. Entahlah, sudah berapa nyawa yang meregang kesakitan akibat tebasan pedang. Sejarah tidak ada data soal itu. Maklum, tempo dulu belum ada Badan Pusat Statistik apalagi KTP Elektronik.

Waktu selalu menyajikan sejarah yang berulang. Setiap zaman selalu menyisakan tragedi. Diantara hikayat masyhur adalah soal perang antar kabillah atau suku, perseteruan antar kerajaan, hingga faktor politik dan perebutan kekuasaan.

Soal perang salib, serbuan tentara Mongolia yang memporak-porandakan peradaban Islam di kota Bagdad, revolusi Perancis, hingga Perang Dunia I dan Perang Dunia II, membangkitkan kembali kepada ingatan duka dan luka hikayat makhluk bernama manusia.

Silahkan dicari datanya, berapa korban nyawa melayang akibat rentetan peristiwa itu. Yang hendak saya sampaikan, adalah lagi-lagi, manusia mengulangi kesahalan dan terjatuh di lubang yang sama. Pasti, soal persaingan, perebutan kekuasaan, dan kerakusan hasrat menjadi motif dibalik aksi saling membinasakan umat manusia.

Di negeri bernama Indonesia yang kita tinggali ini, juga tidak lepas dari serangkaian tragedi. Tengoklah, berapa nyawa yang harus dikorbankan dalam prosesi memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Tragedi 1965, perang Sampit-Madura, tragedi 1998, penyerangan antar kelompok, hingga tawuran pelajaran dan mahsiswa serta konflik antar  kelompok masyarakat adalah contoh nyata bahwa hidup kita masih sangat dekat dengan kekerasan.

Dan, pembunuhan atau kekerasan yang mengancam jiwa bukan hanya dilakukan pada kelompok. Bisa jadi, individu atau perseorangan menjadi korban aksi keji manusia. Fenomena begal, perampokan, hingga pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, adalah contoh bahwa bayang-bayang kekerasan akan dapat menimpa siapa saja dan dimana saja.

Maka, jika anda orang baik. Kemudian sedang berjalan di jalan raya dan ada sekawanan pemuda yang menyerang anda hingga nyawa melayang, kepada siapa harus mengadu? Polisi, jaksa, hingga pengadilan tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa  anda.

Kematian adalah keniscayaan. Namun seribu cara untuk mati, itu yang jika dibayangkan sungguh teramat mengerikan. Semoga, kita diwafatkan bersama-sama orang baik dan dalam keadaan baik.

Salam Inspirasi


Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Indonesia dan Ketahanan Pangan di Masa Depan

Masalah pangan adalah problematika serius yang akan dihadapi bangsa-bangsa seluruh dunia di abad ini. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak berbanding seimbang dengan produksi pangan akan menyisakan sederet masalah, mulai dari kelangkaan pangan, fluktuasi harga, hingga gonjang-ganjing ekonomi yang berdampak pada stabilitas negara.

Mungkin, kita perlu memimjam istilah populer Sheila Graham “food is the most primitive form of comfort” (makanan adalah bentuk kesenangan yang paling primitif). Mantan Meneg Ristek, Prof. Dr. Ir. Muhammad Zuhal, M.Sc. EE bahkan menambahkan ucapan Graham di atas, “namun lebih dari itu, dalam pangan terkandung identitas dan harga diri bangsa.

Artinya, persoalan pangan bukan perkara main-main. Bahkan keutuhan negara dipertaruhkan dengan masalah “perut” yang kini justru dianggap “sederhana” oleh kalangan cendekiawan dan intelektual.

 Harga kebutuhan pokok atau sembako yang stabil, adalah peletak  dasar kesejahteraan masyarakat. Swasembada pangan adalah soal harga diri bangsa di mata dunia. Jika beras, kedelai, daging, bahkan garam saja masih impor, maka negara ini masih butuh perbaikan mendasar. Ironisnya, Indonesia bukanlah negara “sempit” dengan produktifitas pertanian yang rendah.

Di era orde baru, masalah pangan begitu menjadi pusat perhatian pemerintah. Melalui tri logi pembangunan, yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, rezim Soeharto dikenang “berhasil” dalam mengatasi masalah pangan.  Bahkan sebagian besar infastruktur pertanian seperti irigasi dan waduk, adalah hasil peninggalan orde baru.

Namun akhir-akhir ini, banyak diberitakan mahalnya harga komoditas pangan di tanah air. Akar masalahnya tentu saja dimulai dari ketidakmampuan Indonesia untuk memproduksi pangan dalam jumlah memadai untuk kebutuhan penduduknya. Kedua, adalah soal peran pemerintah dalam mengendalikan inflasi harga pangan.

Pemerintah harus bekerja keras. Tim ekonomi harus melakukan terobosan-terobosan di bidang ketahanan pangan dan tidak hanya berkutat pada teori yang ada pada buku-buku dan diskusi akademik. Jangan sampai, tim ekonomi Presiden Jokowi dianggap amatir.

Juga, pemerintahan Jokowi jangan hanya memprioritaskan gembar-gembor “negara maritim”, namun mengabaikan pertumbuhan sektor agribisnis atau pertanian. Di laut kita jaya, di daratan harus makmur.

Tengok kembali salah satu program nawa cita yang didengungkan oleh Presiden Jokowi dulu saat kampanye, “ Kami akan mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 Juta hektar sawah; 1 Juta hektar lahan sawah baru di luar Jawa; pendirian Bank Petani dan UMKM; Gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Kami akan melakukan langkah pemulihan kualitas kesuburan lahan yang air irigasinya tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, penghentian konversi lahan produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan.”

Segera realisasikan janji itu. Karena, dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 1,66 persen per tahun, penduduk Indonesia pada tahun 2020 diprediksi mencapai 288 juta jiwa. Jika demikian, bisa dibayangkan peliknya masalah pangan Indonesia di masa depan. Bersiap-siaplah.


Adi  Esmawan, owner www.jurnalva.com
Share:

Definition List

Unordered List

Support