“Dengarkan
penjelasanku Devanda, kau harus tau ini”, kataku setengah memaksa sekaligus
memohon pada suara di ujung telepon seluler.
“Cukup! Aku tidak
butuh penjelasan apapun! Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kau harus
bertanggungjawab atas semuanya. Mudah-mudahan anak kita kelak tidak tau kalau
bapaknya seorang penjahat busuk!” Bentaknya dengan suara serak diikuti
sambungan telepon yang terputus.
Ah, hidup ini memang
terlalu rumit. Dan aku berada di tengah pusaran kerumitan ini. Andai saja dulu almarhum
ayahku tidak kelewat berani melaporkan mafia itu ke pengadilan, mungkin alur
hidupku tidak seruwet ini. Ah, sudahlah. Ini takdir. Terima dan jalani saja.
Meski hidupku kini di bawah bayang-bayang penyergapan polisi. Tapi ternyata,
menjadi buronan itu sensasi tersendiri. Lebih greget!
Ku ambil sebatang
rokok kretek. Kopi yang masih mengepul menemani mataku yang masih nanar
merenungi jalan hidup yang seperti mozaik dari pecahan kaca. Warna-warni. Dan satu
lagi, benda ini. Benda yang selalu setia menemani petualangan hidupku. Ia lebih
dekat daripada istriku yang kini meminta cerai dan amat membenciku. Benda yang
selalu ku taruh di dekat tidur dan mimpiku. Dan yang lebih penting, benda ini
adalah satu-satunya warisan keluargaku yang semuanya sudah terbunuh. Ia adalah
sepucuk pistol revolver standar buatan pindad.
Jangan heran ayahku
punya pistol, karena almarhum adalah bekas polisi berpangkat bintara. Kejujuran
dan kecintaanya pada negara justru berbuah petaka. Dan dari sinilah cerita
kelam itu di mulai.
Siapa yang tidak
kenal pada Bob Jumanto. Mafia paling berpengaruh di kota ini. Zaman
jaya-jayanya dulu, aku masih kelas satu SD. Kejahatan dan polahnya sudah sangat
meresahkan. Anak buahnya berkeliaran di penjuru kota bak hantu drakula mencari
mangsa untuk dihisap darahnya.
Anehnya, tidak ada
aparat yang berani meringkusnya. Bob Jumanto tidak tersentuh. Kalaupun ada anak
buahnya yang tertangkap tangan, paling beberapa hari langsung dilepas bebas. Beberapa
LSM dan media yang berani “mengusik” namanya, beberapa hari setelahnya pasti
rontok tak tersisa. Mungkin sebab itulah, hampir semua pihak bungkam akan
kejahatan yang dilakukan Bob Jumanto berdebah itu.
Dan berani-beraninya
ayahku. Seorang polisi dengan pangkat rendahan tanpa beking siapa-siapa yang
berani mengumpulkan secarik bukti demi bukti untuk menjerat Bob Jumanto ke meja
hijau. Dan, berhasil. Walaupun sebenarnya ini hanya dagelan semu. Jumanto dan
beberapa anak buahnya harus meringkuk di penjara. Mereka divonis tiga tahun
lebih tiga bulan. Sebuah vonis yang teramat ringan untuk penjahat kelas kakap
macam Jumanto.
Hingga almarhum ayah
tidak menyadari, kalau tiga tahun tiga bulan itu sangatlah sebentar. Hingga
suatu ketika, peristiwa kelam dan mengerikan di usiaku yang masih duabelas
tahun itu merenggut ayah, ibu dan kakakku. Hanya aku yang tersisa dari keluarga
kecil ini.
Dini hari menjelang
subuh. Ku dengar kegaduhan dari ruang tamu. Pintu digedor layaknya penggrebekan
teroris. Almarhum ibu membopongku yang sudah terjaga dari tidur, lalu
memasukkanku pada almari baju di pojok kamar.
“Nada, kamu tetap
diam disini, apapun yang terjadi. Jangan bersuara”, bisik ibuku lembut. Dan
itulah kata terakhir yang aku dengar darinnya.
Kemudian pintu almari dikunci rapat. Beruntung
aku tidak mati kehabisan nafas karena masih ada celah bagi oksigen untuk
menyuplai nafas.
Hingga beberapa detik
kemudian, letusan pistol bertubi-tubi menyalak di tengah keheningan. Dan
daribalik celah engsel almari, ku menyaksikan sendiri jeritan ibu dan kakak
yang terdengar pilu. Terpratri jelas pula dua sosok yang tega membunuh orang
yang paling aku sayangi. Dan beruntung, Tuhan masih memberiku kesempatan hidup.
Keberadaanku di almari tidak terendus
oleh Jumanto dan anak buahnya.
Baru saat suasana
benar-benar sepi. Ku teriak minta tolong sebisaku. Tetangga kanan kiri datang
bergerombol. Hingga lama menunggu, baru ada yang membuka paksa almari tempat
aku sembunyi. Ternyata polisi.
Karena aku masih
kecil. Belum terlalu paham apa yang sebenarnya terjadi. Ku lihat ayah, ibu, dan
kakak sudah terbujur kaku di tengah mata-mata iba para tetangga. Tembusan
peluru begitu kasat dan jelas.
Semenjak itu, hidupku
diungsikan ke kampung. Ikut pamanku yang merupakan adik kandung almarhum ayah.
Untung saja, paman menyembunyikan asal-usul hidupku rapat-rapat. Aku
diperlakukan layaknya anak sendiri. Hingga saat aku lulus sekolah menengah.
Baru ia ceritakan hal ihwal semuanya. Termasuk menyerahkan sepucuk pistol yang
paman diam-diam sembunyikan saat mengemasi barang-barang ayahku dulu.
Dendam segera membara
dari ujung ubun-ubunku. Bayangan pembunuhan kejam di mataku itu seakan membakar
semangat untuk balas dendam. Namun berkali-kali niatku untuk bertindak goblok
dicegah oleh paman. “Tunggulah saat yang tepat nak Nada. Kalau tidak. Kamu yang
mati konyol. Nyawa pamanmu dan keluarga juga terancam. Jumanto itu bukan orang
sembarangan”.
Dan karena
nasehat itu, kusimpan sementara dendamku
di sudut kenyataan. Ku jalani hidup dengan semangat. Belajar dan belajar terus ku jalani. Hingga
gelar sarjana dengan seabrek prestasi aku raih.
Dan entah karena
faktor kebetulan atau tidak, setelah sarjana aku justru melamar pekerjaan diperusahaan
yang ternyata itu adalah milik Jumanto. Ia duduk sebagai owner sekaligus
CEO-nya. Karena nilai dari prestasiku yang lumayan, diterimalah aku sebagai
pegawai perusaahan. Dendamku semakin berkecamuk saat mataku dan matanya
berpapasan. Namun aku tahan sekuatnya. Tunggu waktu yang tepat. Aku berusaha
menjadi anak buahnya dengan sebaik-baiknya.
Hingga hal yang tidak
aku duga benar-benar terjadi. Aku dipertemukan dengan gadis cantik yang memikat
hatiku. Dan dia adalah anak bungsu Jumanto. Dan dia ternyata juga menaruh hati
padaku. Dengan sekuat tenaga, kucoba berusaha memikat hati Jumanto agar aku
bisa diterima sebagai menantunya. Ternyata : berhasil. Prestasi, ketrampilan
dan dedikasiku pada perusahaan membuat hati mafia kelas kakap macam Jumato
luluh. Diapun mengawinkan putri bungsunya denganku tanpa sedikitpun menaruh
curiga.
Setelah itu, berbagai
kesempatan emas untuk mengabisi Jumanto sengaja aku lewatkan. Aku bimbang.
Walau bagaimanapun, ia adalah mertuaku, ayah dari isteriku, dan calon kakek
dari anakku kelak. Ya, istriku, si anak dari pembunuh keluargaku sudah
mengandung anakku. Pun Jumanto juga sudah tidak lagi sebengis dulu. Kelakuannya
sudah membaik. Mungkin ia sudah insyaf.
Hingga beberapa waktu
lalu, tanpa sengaja Jumanto memasukki kamarku dan menemukan fotoku bersama
almarhurm ayah, ibu dan kakakku. Ia terkaget bukan main. Berarti ia masih ingat
masa lalunya.
Dan saat itulah,
niatku untuk membunuh Jumanto kembali muncul. Daripada aku yang nantinya
dibunuh, mending dia yang aku bunuh. Ku dorong tubuhnya yang sudah tua itu
hingga terbentur ke tembok. Tak kuduga, dia masih kuat dan balik menyerangku.
Hingga, pistol yan selama ini kusimpan rapi di laci rias istriku itu ku
bidikkan tepat di kepala Jumanto. Setengah tak percaya, akupun segera kabur
dari rumah sebelum aksiku ketahuan anak buah Jumanto dan juga istriku tercinta.
Kini, dendam ayahku memang
sudah terbalas lunas. Batok kepala mafia tua bangka itu sudah pecah tertembus
peluru pistol bersejarah ini. Namun yang selalu aku khawatirkan, bagaimana jika
anakku kelak menuntut balas atas kematian mendiang kakeknya?
Adi Esmawan, Dukuh Sigong, 26
Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar