Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Kisah Mengharukan Biksu Kecil dan Jalan Sunyi Pengikut Thariqoh

Usianya masih belasan tahun. Sekecil itu ia sudah berkepala gundul, memakai pakaian kusam berwarna orange dan tinggal di kuil nun terpencil di kaki gunung. Bersama belasan teman yang lainnya, ia memilih jalan hidup yang berat. Menjadi biksu atau pengamal ajaran agama budhist (budha) dengan mengamalkan berbagai dharma yang diajarkan Sidharta Gautama.

Jangan dulu bicara akidah mereka, keyakinan mereka. Karena itu urusan hidayah dan anugerah langsung dari Allohu Robbul Alamin. Dan mereka juga sama seperti kita, sama-sama ciptaan (makhluq) Alloh. Dan tidaklah Dia menciptakan mereka tanpa maksud dan sia-sia belaka. Pun pastilah Alloh tidak menciptakan mereka untuk kita musuhi. Jangan-jangan, kita yang disuruh banyak belajar dari mereka.

Yang hendak saya bicarakan dalam tulisan ini, adalah betapa berat dan luhurnya ajaran Budhis, yang itu telah diamalkan dengan sangat baik oleh para biksu-biksu kecil di kota Bangkok, negeri Gajah Putih, Thailand.

Bayangkan, di usianya yang belia, mereka sudah diajari bagaimana menahan hawa nafsu, berperilaku sederhana, menghindari kerakusan dan tamak dunia, mencintai sesama dan alam semesta. Laku kehidupan mereka lebih banyak diisi dengan meditasi, mendekatkan diri pada kekuatan yang mereka yakini sebagai pemilik hidup mereka.

Jangan dikira, para biksu kecil ini mendapatkan fasilitas mewah, smartphone, gaya hidup yang bergelimang kenikmatan. Mereka sudah dilatih untuk hanya memiliki barang yang benar-benar dibutuhkan saja. Jangan dikira mereka berlomba-lomba dalam kemegahan, mengupdate motor keluaran terbaru atau gagdet terbaru. Untuk menonton televisi dan berita terkini saja mereka tidak menyentuhnya.

Artinya, prinsip para biksu adalah menyerahkan hidupnya kepada ajaran budhis. Jejak hidup Sidharta Gautama benar-benar menjadi jalan bagi mereka untuk memperoleh kenikmatan spiritual. Mereka (sebagian besar) telah berhasil mengisolasi diri dari persaingan tidak sehat lomba rakus-rakusan mengeksploitasi alam ini. Dan mereka juga tidak pernah meminta-minta walau hidup sederhana. Dan jangan kira para biksu itu terlibat politik praktis berebut kuasa, menonton film porno, atau berbuat maksiat yang merusak. Untuk menikah saja mereka tidak boleh. Artinya, mereka benar-benar telah membebaskan diri dari hasrat seksual.


Melihat  kisah di atas dan membandingkanya dengan ajaran Islam, saya sendiri jadi malu kepada Alloh dan Rosulnya. Betapa mulia dan sempurnanya ajaran Islam yang hanya bertuhankan satu, Allohu Ahad. Islam yang juga membawa misi rahmat bagi semesta alam, tapi pemeluknya banyak yang jadi perusak dan pembunuh sesama.

Betapa malunya kita, kepada Alloh Aza Wa Jala, Rosul-Nya, Al Qur’an, dan sunnah, bilamana melihat perilaku biksu-biksu kecil ini yang sudah berperilaku zuhud, waro’ dan tidak bergantung pada dunia. Padahal, bukankah kita diajarkan untuk tidak tamak, rakus, dan tidaklah manusia dan jin dihidupkan melainkan hanya untuk mengabdi kepada-Nya?
Bahkan betapa mbalelonya kita kepada Alloh. Ketika al Qur’an memerintahkan untuk tidak bermegahan, kita justru berlomba bermegahan, mengikuti dan menyerupai kaum kuffar dengan sangat berlebih-lebihan. Menjadikan kemewahan sebagai gengsi, bukan fungsi.
Padahan ajaran Islam tidak sekeras ajaran budhis. Karena rosulluloh adalah contoh paling baik untuk seluruh golongan manusia. Islam sangat mengakomodir kepentingan umatnya. Menikah adalah bagian dari sunnahnya. Disuruh bekerja dengan keras agar bisa berjuang di jalan Alloh dengan harta dan jiwa, agar bisa berzakat, menyantuni anak yatim dan kaum faqir.
Sayang seribu sayang. Umat Islam di akhir zaman ini cenderung mengejar duniawi dan mencintainya dengan sangat berlebihan sebagaimana firman Alloh (wa tuhibunnal malla hubban jamma), dan kalian mencintai harta dengan sangat berlebihan.

Hingga sholat saja, kalah dengan jam kerja. Boro-boro berpuasa sunnah, puasa wajib saja kadang diam-diam kita tinggalkan. Boro-boro bersikap zuhud, paling uang tidak seberapa saja kadang memicu permusuhan dan pertumpahan darah. Apakah ini hidup kita umat Islam?

Namun, sebagian umat Muhammad SAW, ada yang memilih jalan sunyi lagi sepi menjadi penganut thareqoh. Sudahlah. Tidak perlu mempersoalkan thareqoh itu bid’ah atau sesat apa tidak, ada dalil shahihnya atau tidak. Tidak usah hobi mengoreksi dalil orang lain. Mereka sudah jauh beramal, kita baru berpikir soal dalinya mana?



Yang jelas, penganut thareqoh itu menyerahkan dirinya untuk mendekatkan diri kepada Alloh dengan menyepi di camp-camp atau masjid-masjid nun sepi. Mereka berdzikir dalam jumlah wirid tertentu. Dan itu hak mereka. Rosullulloh tidak pernah membatasi jumlah dzikir. Bahkan perintah Alloh “wadzkurulloha katsiro langalakum tuflihun.” Banyak-banyaklah mengingat Alloh (berdzikir) agar kalian beruntung.

Mereka berpuasa, menahan diri, mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan yang semakin renta. Mencoba membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs), dari segenap  penyakit hati macam iri, dengki, riya, ujub, sombong dan kemaksiatan lainnya. Kita seharusnya malu. Karena para penganut thareqoh itu menjaga betul perilakunya, bicaranya, pandangan matanya, hafalannya, dzikirnya, menahan hawa nafsu, bahkan makanan dan minumanpun dibatasi. Harus jelas dzat dan sumbernya. Daging saja mereka “ngilari” demi menjaga diri dari kerakusan dan syubhat. Malu kita pada mereka jika yang kita bahas melulu hanya soal  bid’ah, kafir, sesat, konspirasi, Yahudi, Syiah amerika. Justru kita menjadi ketinggalam amal sholeh yang sudah terang jelas perintahnya dalam Al Qur’an maupun hadits.

Jangan harap pula para penganut thareqoh itu merayakan tahun baru, meniup terompet, menghadiri acara musik. Wong tidur dan amalann sunnahnya saja disiplin dan teratur setiap hari. Tak ada waktu untuk nonton TV dan main sosmed macam kita.

Ketika hidup itu keyakinan dan pilihan, maka perkuat dulu keyakinan dengan ilmu pengetahuan. Setelah itu baru jatuhkan pilihan. Perlahan-lahan, kurangi ketergantungan kita pada duniawi. Buang jauh sikap iri, dengki, dan sikap tamak rakus ingin memiliki ini dan itu.

Meski jangan pernah berhenti bekerja keras. Karena itu akan bernilai ibadah sangat besar, bila harta hasil kerja keras itu menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Alloh sebagaimana sahabat Abu Bakar, Ustman bin Affan, Abdurrohman ibn Auf dan sahabat kaya raya lainnya.

Semoga tulisan ini menggugah hati dan fikiran kita. Allohu yarham.


Dukuh Sigong, 28 Desember 2015 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support