Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Meninjau Kembali Cara Ber-Agama Kita

Ketika di media sosial, kita ramai-ramai berkomentar, berdiskusi, bahkan berdebat kusir soal isu-isu nasional dan internasional. Soal konflik Palestina, Suriah, dan daerah lain di jazirah Arab misalnya. Juga soal hubungan Islam dan dunia barat, soal Sunni – Syiah dan benturan perbedaan lain. Teranyar, soal pembakaran tempat ibadah umat Islam di di Papua yang menjadi isu nasional.

Mulai dari diskusi di warung kopi hingga seminar dan kajian akademik. Selalu itu-itu saja yang menjadi objek kajian.  Sampai-sampai skripsi, tesis, hingga disertasi keilmuan Islam yang disorot kebanyakan hanya masalah konflik antar firqoh (golongan), perbedaan madzhab, dikotomi bid’ah vs sunnah, Suni vs Syiah, hingga aspek ritual formal ibadah transendental kepada Tuhan. Seolah-olah, hanya “itu” wajah Islam.

Ketika kita, di media sosial ramai-ramai bicara konspirasi ini dan itu, soal konflik timur tengah, bicara khilafah dan hukum Islam, bicara demokrasi atau mendikte ibadah orang lain apakah itu bid’ah atau sunnah. Sudahkah problematika kecil di kampung kita, di lingkungan kita, di alam sekitar kita, kita tengok dan dicarikan solusi?

Perbicangan soal Islam bukan melulu soal aliran, soal sunnah-bid’ah apalagi perbedaan cara ibadah. Pokok-pokok ke-Islaman yang lebih penting, justru acap kali kita lupakan. Jika menghardik anak yatim dan mengabaikan faqir miskin saja dianggap mendustakan agama, maka bagaimana soal kemiskinan yang masih menjadi problematika telanjang di negeri ini? Jika masalah menyingkirkan ranting yang ada di jalan saja, dianggap ibadah utama, jika kebersihan saja merupakan cabang dari iman, bagaimana soal kebersihan dan kenyamanan lingkungan kita?

Mari kita cermati kembali, cara beragama kita. Islam itu agama yang menjadikan akhlaqul karimah sebagai tujuan utama. Innama bu’istu li utammi makarimal akhlaq. Juga penebar kasih sayang bagi seluruh alam (wa ma arsalnaka illa rahmatal lil alamin).

Jika kita mulai menerapkan ajaran Islam dari hal sederhana, maka kita akan temukan nilai-nilai luhur peradaban Islami. Soal memuliakan tamu dan memberikan rasa aman pada tetangga, soal menyayangi anak yatim dan faqir miskin, soal bermanfaat bagi orang lain, soal tidak berbuat kerusakan, soal berbakti kepada orang tua, soal sholat jama’ah, soal zakat dan infaq, serta soal kemuliaan Ilmu pengetahuan, maka kita akan dapati, betapa luhur ajaran Islam.

Kemudian, adalah soal perang melawan hawa nafsu. Ini  juga acap kali kita abaikan. Kita melulu berdebat kusir sampai cek-cok gara-gara bicara soal perang ini dan perang anu. Sementara hawa nafsu kita, amarah kita, kedengkian kita, kesombongan kita, rasa paling benar kita, dibiarkan tumbuh subur untuk hidup dalam hati sanubari. Jika demikian, sering-sering saja baca Al Qur’an dan dzikir kepada Allah SWT. Alla bidzikrillahi tatmainul qulub. Hanya dengan ingat kepada Alloh hati menjadi tentram.

Namun, jika kita ber-Islam dari hal yang muluk-muluk, misalnya soal penegakkan “hukuman Islam”, soal-soal kafir dan musyrik, soal sunnah-bid’ah, soal organisasi,  hingga soal konspirasi tingkat tinggi dan politik yang menyeret “nama agama”, maka keber-agamaan kita akan berubah menjadi kebencian, kebengisan dan penuh prasangka.

Soal amar ma’ruf nahi munkar-, maka  terpenting dimulai dari diri sendiri. Pastikan kita sendiri sudah menjalankan yang ma’ruf, sebelum menyuruh yang lain berbuat ma’ruf apalagi menyuruh nahi munkar. Jangan sampai kita menjadi antaquluna mala tafgalun, mengatakan apa yang tidak dilakukan yang amat dibenci oleh Tuhan.

Sebagai ajaran yang sempurna, tentu Islam akan menumbuhkan peradaban yang unggul dan memunculkan situasi yang nyaman dalam beribadah kepada-Nya. Serta, menebarkan kasih sayang kepada seluruh mahkluqnya.

Mari, jangan tinggalkan pokok-pokok  ajaran agama yang sederhana. Sebelum bicara masalah umat level nasional dan Internasional, yang hanya berdebat tanpa melakukan apa-apa, cobalah tengok kampung, dusun, atau kawasan tempat kita tinggal. Sudah bersihkah mushola kita, sudahkan anak-anak di kampung kita bisa membaca Al Qur’an, bagaimana anak-anak yatim dan faqir, bagaimana pengelolaan zakat agar lebih produktif,  bagaimana hubungan dengan tetangga, bagaimana jama’ah kita. Dan seterusnya.

Dalam berdakwah, nabi Muhammad SAW sendiri sangat lembut dalam bersikap, meski sangat tegas dan keras dalam hal akidah dan keyakinan. Nabi adalah tauladan bagi segala golongan. Maka mari, jangan mudah marah, menebar kebencian dan prasangka.
Salam inspirasi. Mohon koreksi dan teguran jika salah.


 Penulis : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support