Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah

Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...

Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur

Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya

Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.

Waspada Juru Dakwah Instan!

Jumlah juru dakwah (baca: penceramah) terus menjamur bak cendawan di musim hujan. Kita lihat di layar kaca, da’i-da’i baru bermunculan dengan ciri khasnya masing-masing. Pengikutnya juga bukan main. Dari anak-anak muda sampai ibu-ibu rumah tangga. Ini mungkin bisa dianggap sebagai berita yang menggembirakan bagi perkembangan syi’ar Islam. Namun, bagaimana jika bukan dakwah yang menjadi tujuan mereka?

Kita tahu dan faham betul, bahwa banyak da’i yang muncul di layar kaca adalah hasil produksi media meskipun tidak semuanya. Karena produksi media, maka Ia dibesarkan oleh media. Dan bisa ditebak, bukan dakwah yang menjadi tujuan utama melainkan popularitas dan “penghasilan” atau bahkan menjadi corong propaganda golongan tertentu. 

Mereka kebanyakan digodog secara instan lewat ajang pencarian bakat. Modal utama adalah kemampuan menguasai panggung dan skill berpidato. Perkara ilmu, ah, hafal dua atau tiga hadist serta menekuni Al Qur’an terjemah sudah beres dan kelihatan mumpuni.

Akibatnya, kita terlalu banyak disuguhi para penceramah, bukan ulama yang menyampaikan ilmunya. Kita dijejali banyak “figur” tetapi miskin “teladan”. Padahal, metode dakwah yang terbaik adalah dengan teladan atau contoh perbuatan, sebagaimana kaidah terkenal : “Lisanul Hali Afshohu min lisanil maqoli” artinya : bahasa perbuatan itu lebih baik daripada bahasa lisan.

 Kita terlalu jemu dengan kata-kata, pidato-pidato meskipun menyitir ayat-ayat Al Qur’an dan hadits. Kalau hanya sekedar berbicara, banyak orang yang mampu dan mau. Mereka lupa, bahwa Alloh SWT mengingatkan dalam Q.S As Shoff ayat 2-3 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kebencian di sisi Alloh, pada orang yang mengatakan (mengajarkan) apa yang ia sendiri tidak melakukanya” (Q.S As Shoff ayat 2-3)

Dari firman Alloh di atas, kita akan tahu betapa besar tanggung jawab seorang ulama dan juru dakwah. Mereka  dituntut mengamalkan apa yang mereka katakan. Bukan hanya asbun alias asal bunyi. Dan di era sekarang ini, sangat sedikit da’i penceramah apalagi “ulama artis” yang juga berfungsi sebagai teladan.

Meskipun demikian, masih ada ulama-ulama yang menjadi teladan bagi masyarakatnya. Mereka yang mengajar ngaji di kampung-kampung, di sudut perkotaan, di dusun-dusun, di bilik-bilik pesantren, di mimbar-mimbar masjid kecil atau mushola, di majelis-majelis ilmu dan jauh dari ketenaran popularitas. Mereka yang terdidik  melalui sistem pendidikan Islam atau pesantren dengan waktu yang cukup lama. Mereka yang telah mengamalkan apa yang mereka dakwahkan. Itulah ulama yang benar-benar sebagai lentera umat.

Kita butuh figur teladan untuk menyelamatkan umat dan generasi, bukan omong kosong dari industri media.


Adi Esmawan, Pengasuh jurnalva.com
Share:

Ayat-Ayat Pengingat Lupa

Akui saja, bahwa kita terlalu sering lupa kepada Alloh. Baik sengaja maupun tidak sengaja. Jika saat ingat kepada Alloh kita sebut “on” dan saat lupa kepada Alloh kita sebut “off”, maka kita lebih sering “off”-nya daripada “on”. Dan off itu mati, on adalah hidup.

Sebagaimana perumpamaan orang yang berdzikir (ingat) kepada Alloh dengan orang yang tidak berdzikir kepada Alloh, adalah laksana orang yang hidup dengan orang yang mati. Maka betapa banyaknya mayat-mayat hidup yang dengan bangga tertawa terbahak padahal ia melupakan siapa Penciptanya dan untuk apa Ia diciptakan.

Alloh SWT berfirman : “Yaa ayuhaladzina amanu latulhikum amwalukum wa laa auladukum ngan dzikrillah, wa ma yafngal dzalika faulaa-ika humul khosirun... Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta kekayaan dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Alloh, dan barang siapa yang melakukan itu, maka termasuk orang-orang yang rugi. (QS Al Munafiqun Ayat 9)”

Dan ternyata, kita lebih memilih menghindari rugi dalam urusan jual-beli daripada rugi di kehidupan yang akan datang (akhirat). Kita lebih takut bangkrut dalam berusaha, daripada takut tidak diridhoi oleh-Nya. Sering kali, bahkan tiap saat, harta dan anak-anak, keluarga telah melalaikan kita dari mengingat Alloh, Raab semesta alam.

Ada baiknya, kita merenung sejenak. Fa aina tadzhabun? Mau kemanakah kita? Semua orang sebenarnya sadar, bahwa kita menuju pada keringkihan, masa tua, kemudian kematian akan datang dan mengakhiri segala pencapaian kita di dunia. Kemudian perjalanan baru lagi teramat panjang baru dimulai. Tapi kenapa kita terkecoh pada kehidupan sementara? Wa mal khayatud dunya illa matangul ghurur.

Maka mari kita perbanyak dzikir (mengingat) kepada Alloh. Baik diwaktu siang maupun petang. Dalam keadaan berdiri, duduk maupun terbaring. Di tempat kerja, di toko, pasar, kendaraan, di gubug-gubug tengah sawah dimanapun dan kapanpun. Berdzikir yang sesungguhnya adalah hati mengingat Alloh dengan menyebut asmanya dengan lembut dan tanpa perlu mengeraskan suara. Karena sesungguhnya Alloh itu “ngalimum bidza tis sudur”, maha tahu apa yang ada di hati. Kecuali jika memang berkepentingan untuk mengajarkan kepada yang lain kalimah dzikir, maka tidak apa menjaharkan (mengeraskan) suara. Masalah teknis tidak perlu diperdebatkan. Terpenting jiwa mengingat Alloh, bukan hanya di lisan saja.

Satu hal lagi, bahwa Al Qur’an adalah tadzkiroh atau pemberi peringatan. Maka jika kita sedang galau, resah, dan hati tidak tenang, bersegeralah mengambil mushaf dan bacalah Al Qur’an itu dengan pelan (tartil). Semoga ia akan memberikan peringatan kepada kita dari bertindak keji dan munkar, serta sebagai kabar gembira agar kita senantiasa berbuat baik dan menebar kasih sayang bagi semesta alam.

Semoga menginspirasi. Salam

Adi Esmawan, Pengasuh Jurnal Inspirasi
Share:

YANG PERLU DIPERHATIKAN DARI AL QUR’AN

 “Sebaik-baik diantara kalian adalah orang yang mau belajar Al Qur’an, kemudian mengajarkanya (mengamalkanya)” (Hadits Riwayah Bukhory).

Diantara  penawar hati yang gelisah, adalah membaca Al Qur’an dan merenungi maknanya, mengambil pelajaran di setiap ayatnya, syukur pisan bisa menghafalkanya.

Al Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan, yang permulaan ayat-ayatnya diturunkan pada bulan Ramadhan. Diturunkan kepada seorang nabi dan Rosul yang buta huruf (umiyy), untuk membuktikan bahwasanya Al Qur’an bukanlah karangan sang nabi.

Memahami Al Qur’an adalah keharusan bagi setiap muslim, karena ia adalah petunjuk atau sebuah peta jalan kehidupan. Ia adalah kitab yang akan menuntun manusia untuk membedakan, mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang tidak boleh dan mana yang boleh. Perilaku umat muslim harus selaras dengan Al Qur’an.

Sayang seribu sayang, generasi umat Islam sekarang semakin jauh dari Al Qur’an. Jangankan memahami isinya, mau belajar membacanya saja tidak tertarik, tidak berminat. Padahal untuk memahami al Qur’an dimulai dari belajar membaca tiap hurufnya dengan baik dan benar.

Mungkin karena hati sudah terlanjur keruh oleh urusan duniawi. Sehingga ketika diperdengarkan ayat-ayat-Nya, jarang sekali orang meresapi maknanya. Beruntung, meskipun sedikit, negeri ini masih ada yang  menekuni Ulumul Qur’an, yaitu mereka para santri penghafal dan pendalam Ilmu Al Qur’an. Di bilik-bilik kamar, di serambi, di dalam masjid, di pinggir aliran sungai atau di bawah pohon, dengan penuh ta’dzim mereka mengkaji, memahami dan menghafal Al Qur’an.

Tentu saja kita berharap, anak-anak kita nanti dibesarkan dalam nuansa yang Qur’any. Dibimbing dalam kesejukan dan kedamaian Al Qur’an. Karena sesungguhnya, generasi emas adalah generasi yang Qur’any, generasi masa depan.

Ramadhan dan Al Qur’an adalah dua hal yang sangat dekat. Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, barokah, dan ampunan. Ada baiknya, mengisi waktu luang dengan membaca Al Qur’an dan mendalami maknanya. Kemudian mengendapkan hati dan menjernihkan pikiran.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca Al Qur’an :
1.   Membacanya harus dengan tartil (pelan) dan sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid
2.   Membacanya harus satu nafas per kalimat, bukan dengan nafas tanpa aturan apalagi terpotong-potong. Jika nafas tidak kuat, diperbolehkan berhenti (waqof) dan melanjutkan (ibtida’) pada penggalan kata tertentu
3.   Patuhi rambu-rambu membaca Al Qur’an, seperti tanda baca, makhroj, dan ayat-ayat yang gharib.
4.   Dianjurkan untuk membacanya dengan merdu. Kemudian ada  yang menyimaknya untuk mengantisipasi apabila terjadi kesalahan. Artinya, ada yang membaca dan ada yang menyimak. Jangan membacanya secara bersama-sama.
5.   Ada baiknya untuk mengkaji makna ayat dan menggaris bawahi  ayat-ayat yang dipandang perlu untuk diambil pelajaran.

Kita lanjutkan lain waktu.
Salam inspirasi.

Adi Esmawan, pengasuh www.jurnalva.com


Share:

Tentang Sebuah Janji

Manusia memang hobi obral janji. Entah pada kawan sejawat, keluarga, anak, istri, mitra bisnis atau pada orang lain. Mulai dari hal kecil macam janji pertemuan, janji memberikan ini dan itu, hingga mengiming-imingi untuk menarik minat konsumen dalam dunia bisnis. Coba hitung saja dalam sehari, berapa janji yang tidak kita tepati?

“Nanti kalau adik rangking satu, akan bapak belikan sepeda baru. Nanti kalau ibu dapat arisan, akan sedekah pada si anu, nanti kalau saya jadi kepala desa, halaman rumahmu akan saya aspal, minggu depan saya lunasi semua hutang-hutangnya”. Begitulah janji meluncur dengan mudahnya. Ketika tiba hari saat janji harus ditunaikan, malah zoonk. Itulah kita.

Apalagi dalam dunia politik, janji seolah perkara mudah dan murah. Saat kampanye untuk menarik masa, seorang calon pemimpin akan mengumbar janji ini dan janji itu. Ironisnya, banyak yang masih percaya pada janji-janji palsu. Ini mengkhawatirkan.

Dalam Al Qur’an suroh Al Maidah ayat satu ditekankan, bahwa sebagai orang beriman, kita wajib menunaikan janji. Baik janji yang diucapkan melalui akad, ditulis melalui surat bermaterai, maupun janji dengan sumpah atau nadzar. Menyalahi janji merupakan perbuatan tercela, berdosa dan masuk kategori orang munafiq.

Dan sesungguhnya Alloh Azza Wa Jalla tidak pernah menyalahi janji. Innalloha la tuhliful mingad. Tapi anehnya, janji Alloh kepada manusia justru kadang tidak kita percaya. Misalnya, Allah berjanji bahwa Ia akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Atau janji bahwa Allah akan mengabulkan do’a orang yang memohon kepada-Nya.

Janji Allah yang akan melipatgandakan rezeki bagi orang yang akan berderma (bersedekah), atau melipatkan pahala orang-orang yang shalat berjamaah juga kadang dianggap remeh. Sedangkan janji calon kepala daerah yang muluk-muluk justru dipercaya.

Mungkin, karena kadar keimanan kita masih abal-abal dan kemantapan hati masih dangkal. Jauh dari predikat taqwa kepada Allah. Sehingga ibadah lebih kepada alasan tanggung jawab sosial di mata manusia,  bukan mengharap ridho Alloh semata.

Maka mari, kita kunjungi jiwa kita sendiri, tazkiyatun nafs. Sudah Imankah kita, sudah Islamkah kita, sudah Ihsankah kita? Atau jangan-jangan, kita hanya Islam KTP? Naudzubillah min dzalik.

Mari berusaha untuk tidak mudah mengumbar janji. Katakan insya Allah (jika Allah menghendaki) saat kita berjanji. Sebagai muslim yang berintegritas, maka jangan pernah mengingkari janji.
Salam inspirasi.
Adi Esmawan, pengasuh www.jurnalva.com


Share:

Fenomena Dadakan Saat Ramadhan

Hati kita semakin hari semakin keruh. Kesalahan demi kesalahan, terus saja kita tancapkan dalam sadar maupun tanpa sengaja. Berbangga diri dalam hidup, berlomba bermegah-megahan, mencintai dunia dengan teramat berlebihan, kikir, hingga bersikap sombong adalah penyakit hati yang dengan mudah mewabah, menjangkiti siapa saja.

Ramadhan adalah momentum bersih-bersih hati. Saat yang tepat untuk menyesal dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Allah akan mengampuni dosa-dosa kita yang telah lampau jika kita berpuasa dan beribadah dengan tujuan hanya mengharap ridho Allah semata. Bukan berharap yang lain.

Ramadhan memang istimewa. Bulan dimana masjid dan mushola,  baik di penjuru kota maupun di dusun-dusun tiba-tiba bergeliat penuh semangat. Awal-awal ramadhan, shaf-shaf terisi dengan rapi. Kegiatan-kegiatan dadakan menghiasi, seperti ceramah kultum,  tarowih keliling, taddarus, buka bersama, hingga Pesantren dadakan alias pesantren kilat.

Bukan hanya itu, acara di televisi tiba-tiba bersolek diri dengan nuansa Islami. Artis-artis yang biasanya mengumbar aurat dan menjadi agen propaganda kemaksiatan, tiba-tiba menyalin rupa dengan tampilan religius dengan program berbau ramadhan.

Para pejabat dan aparatur birokrasi tidak mau kalah. Berbagai program religius digulirkan. Media-media juga berlomba memberitakan, menayangkan, memprogramkan, dan menyajikan berbagai serba-serbi ramadhan dengan ide kreatifnya masing-masing.

Yang tidak kalah mencengangkan, sektor ekonomi juga menunjukan geliat dan harga-harga mengalami fluktuasi lonjakan di luar nalar. Hal ini karena Ramadhan di negeri ini menganut madhzab ekonomi suplai and demand. Permintaan dan daya beli masyarakat meningkat tajam di bulan ramadhan. Artinya, konsumsi justru melonjak.

Tentu, segala fenomena di atas adalah sah-sah saja. Tapi, mari kita merenung sejenak. Apakah ramadhan hanyalah penanda atau simbol “sok  religius” yang bersifat musiman? Seperti saat Agustusan yang tiba-tiba menyulap kita menjadi sok nasionalis?

Jika ia, maka ini gelagat berbahaya bagi keislaman kita. Atau jangan-jangan, kita memang hidup dalam kubangan kepura-puraan dan kepalsuan? Sehingga segala sesuatunya berada di alam simbol dan ritual formal.

Tauladan kita Nabi Muhammad SAW  telah memprediksi bahwa umat Islam di akhir masa seperti buih di lautan. Mudah diombang-ambing dan hanya sebatas simbol.

Maka ramadhan tahun ini, semoga bukan hanya tampilan kita yang mendadak religius. Namun hati, ucapan, pemikiran dan pengamalan hidup semakin taqoruub atau dekat dengan Rabbul Alamin.

Marhaban Ya Syahro Romdhon, marhaban syahro siyam.


Adi Esmawan, pengasuh www.jurnalva.com
Share:

Selamatkan Sungai Damaikan Alam



Alam menyajikan fasilitas maha lengkap bagi kelangsungan hidup manusia. Diantara fasilitas istimewa adalah sungai. Di lain tempat ada yang menyebutnya “bengawan”. Masyarakat lebih banyak menyebutnya “kali”.

Selain berfungsi sebagai lalu lintas air dari hulu hingga hilir, sungai adalah sumber penghidupan bagi masyarakat, baik mereka yang bermukim di dekat Daerah Aliran Sungai (DAS), maupun penduduk yang tinggal jauh dari bantaran sungai.

Beberapa fungsi sungai diantaranya menjaga keseimbangan air, sanitasi air hujan, pengairan pertanian (irigasi), menunjang kehidupan keseharian manusia, potensi pariwisata, hingga sebagai sumber energi penghasil listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Ironisnya, nasib sungai di negeri ini semakin tragis karena terus mengalami penurunan kualitas dari waktu ke waktu. Mulai dari pencemaran air sungai oleh berbagai limbah baik rumah tangga maupun industri, penyempitan badan sungai, pendangkalan sungai, hingga hilangnya sungai atau berubahnya sungai menjadi parit kecil penuh sampah.

Tentu saja, manusia adalah pihak yang paling bersalah atas kasus kerusakan sungai yang kian kritis. Akibat dari semua itu, kita lihat debit air sungai yang melimpah di musim penghujan sehingga menyebabkan banjir, dan kekeringan di musik kemarau. Belum lagi soal kejernihan air sungai yang kini berubah menjadi air comberan yang kotor dan tercemar.

Ekosistem air juga terancam kelestarianya. Dulu, saat memancing di sungai, kita dapat menemukan beberapa spesies ikan sungai seperti gabus, uceng, endong, mujair, melem dan sebagainya. Namun, keberadaan ikan-ikan khas sungai itu kini nyaris punah.

Perlu ada langkah nyata secara massif untuk menyelamatkan sungai. Mulai dari para pemangku kepentingan dan pemerintah yang harus menjadi inisiator gerakan penyelamatan sungai. Hal ini dapat dilakukan dengan menerbitkan kebijakan yang pro lingkungan dan tidak hanya berpihak pada pertumbuhan ekonomi. Penambahan program kegiatan pelestarian sungai terutama yang bersifat preventif (pencegahan).

Peran masyarakat juga sangat penting. Perlu kesadaran bersama untuk menjaga sungai tetap lestari. Airnya tetap mengalir begitu jernih dan keberadaanya tetap ada sebagai balance bagi keberlangsungan kehidupan semesta.

Kegiatan bersih-bersih sungai yang dilakukan secara rutin dan berkala juga sangat efektif dan terasa manfaatnya. Hal ini perlu mendapatkan dukungan dari seluruh elemen dan pemerintah.

Adanya Kongres Sungai Indonesia (KSI) yang akan digelar perdana di Banjarnegara pada Agustus 2015 harus menjadi momentum penting aksi nyata menyelamatkan kali-kali di seluruh penjuru negeri. Bukan hanya sekedar kegiatan mubadzir mengkampanyekan sungai sebagai magnet sektor pariwisata.

Salam inspirasi.

Author : Adi Esmawan, owner www.jurnalva.com


Share:

Definition List

Unordered List

Support