Kalau kita dari
Jakarta ingin pergi ke Surabaya, tidak tau rute jalan, tentu saja kita
membutuhkan tanda. Entah itu petunjuk arah, google map, peta jalan,
rambu-rambu, atau hal sejenisnya.
Begitu pula dengan
hidup ini. Sebagai manusia yang percaya akan eksistensi Tuhan, kita tentu
meyakini bahwa Tuhan telah memberikan petunjuk arah untuk hidup di persinggahan
ini. Agar sampai tujuan dengan selamat, dengan akhir yang baik (khusnul
khotimah). Bukan malah tersesat, terperosok atau gagal menempuh perjalanan.
Al Qur’an diturunkan
sebagai petunjuk, bagi orang yang mau diberi petunjuk. Ia adalah penerang jalan
yang terang benderang (burhan, nurom mubina). Seperti cahaya yang
menerangi, tentu tanpa pilih kasih, menerangi semuanya. Menunjukan kepada
semuanya.
Persoalan pertama,
kadang manusia justru mengingkari tanda itu. Tidak mau menerima petunjuk. Atau
meragukan petunjuk. Lebih parah, apabila ia menutup akses dari cahaya untuk
masuk, sehingga hatinya gelap dan jalannya tersesat. Itulah kita. Karena
bagaimana mungkin kita melihat terang mentari, ketika semua pintu, jendela dan
lubang kita tutu rapat?
Persoalan kedua,
adalah tentang tanda dari Tuhan itu sendiri. Tentu saja, tanda terbesar,
terlengkap, dan merupakan petunjuk langsung tersurat dari Tuhan adalah Al
Qur’an. Dan ternyata, Al Qur’an itu menunjukan kita pada tanda-tanda yang lain.
Tanda-tanda yang sangat banyak. Bahkan jika lautan menjadi tinta untuk menulis
tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan, akan habislah Ia. Bahkan jika ditambah
lagi sebanyak dan semisal. Jadi salah besar jika kita berhenti pada Al Qur’an.
Karena, Al Qur’an juga menunjuk kepada tanda-tanda yang lain. Atau menyuruh
kita untuk melakukan sesuatu agar mendapatkan petunjuk.
Mungkin saya perjelas
lagi agar tidak gagal faham, bahwa ayat itu tanda. Dan tanda-tanda
kebesaran-Nya sangat banyak, bersliweran di sekitar kita. Maka perhatikanlah
tanda-tanda itu dengan fikiran yang jernih, pengetahuan yang cukup. Jika kita
temukan kebesaran Tuhan di sana, bertambahkan keimanan kita. Dan kita mungkin termasuk orang yang mufilh
alias beruntung.
Persoalan adalah,
justru kebanyakan dari kita berhenti pada tanda (ayat). Ibaratkan saja, ketika
kita sedang menuju Surabaya, kita melihat ada rambu-rambu yang menunjukan ke
arah Surabaya itu. Tidak lucunya, kita malah berhenti disitu!
Al Qur’an itu bagian
dari tanda-tanda yang menunjukan kita kepada jalan yang hanif. Kita
ikuti jalan itu, bukan malah berhenti pada Al Qur’an. Mengotak-atik isinya,
menafsirkanya secara serampangan dan tanpa ilmu, mempersempit makna, atau hanya
berhenti pada teks tanpa memahami kontekstualnya. Ini berbahaya.
Karena kalau kita
tahu, Al Qur’an itu komprehensif. Ma qaratna fiy kitabihi min syai’.
Tapi jika kita terlalu tekstual, maka kita akan kebingungan. Maka sebelum
mempelajari dan memahami al Qur’an, ilmu pengetahuan harus menjadi panglima
utama.
Bahkan ilmu alam atau
ilmu pengetahuan pada umumnya (science) adalah wajib dipelajari karena
apa yang ada di langit dan dibumi merupakan bagian dari tanda (ayat)
eksistensi Tuhan bagi orang-orang yang di beri ilmu. Dan di al Qur’an sudah
disampaikan : Inna fi kholqisamawati wal ardhi wahtilafil laili wannahari
laayatil li ulil albab.
Nah, jadi penting
sekali membaca tanda-ramb-rambu secara utuh. Dimulai dari Al Qur’an, sunnah
nabi, kemudian jangan melupakan ketetapan Alloh (sunnatulloh).
Mungkin lain waktu
akan saya jelaskan lebih detail.
Salam hormat.
0 komentar:
Posting Komentar