Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah

Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...

Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur

Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya

Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.

Meninjau Kembali Cara Ber-Agama Kita

Ketika di media sosial, kita ramai-ramai berkomentar, berdiskusi, bahkan berdebat kusir soal isu-isu nasional dan internasional. Soal konflik Palestina, Suriah, dan daerah lain di jazirah Arab misalnya. Juga soal hubungan Islam dan dunia barat, soal Sunni – Syiah dan benturan perbedaan lain. Teranyar, soal pembakaran tempat ibadah umat Islam di di Papua yang menjadi isu nasional.

Mulai dari diskusi di warung kopi hingga seminar dan kajian akademik. Selalu itu-itu saja yang menjadi objek kajian.  Sampai-sampai skripsi, tesis, hingga disertasi keilmuan Islam yang disorot kebanyakan hanya masalah konflik antar firqoh (golongan), perbedaan madzhab, dikotomi bid’ah vs sunnah, Suni vs Syiah, hingga aspek ritual formal ibadah transendental kepada Tuhan. Seolah-olah, hanya “itu” wajah Islam.

Ketika kita, di media sosial ramai-ramai bicara konspirasi ini dan itu, soal konflik timur tengah, bicara khilafah dan hukum Islam, bicara demokrasi atau mendikte ibadah orang lain apakah itu bid’ah atau sunnah. Sudahkah problematika kecil di kampung kita, di lingkungan kita, di alam sekitar kita, kita tengok dan dicarikan solusi?

Perbicangan soal Islam bukan melulu soal aliran, soal sunnah-bid’ah apalagi perbedaan cara ibadah. Pokok-pokok ke-Islaman yang lebih penting, justru acap kali kita lupakan. Jika menghardik anak yatim dan mengabaikan faqir miskin saja dianggap mendustakan agama, maka bagaimana soal kemiskinan yang masih menjadi problematika telanjang di negeri ini? Jika masalah menyingkirkan ranting yang ada di jalan saja, dianggap ibadah utama, jika kebersihan saja merupakan cabang dari iman, bagaimana soal kebersihan dan kenyamanan lingkungan kita?

Mari kita cermati kembali, cara beragama kita. Islam itu agama yang menjadikan akhlaqul karimah sebagai tujuan utama. Innama bu’istu li utammi makarimal akhlaq. Juga penebar kasih sayang bagi seluruh alam (wa ma arsalnaka illa rahmatal lil alamin).

Jika kita mulai menerapkan ajaran Islam dari hal sederhana, maka kita akan temukan nilai-nilai luhur peradaban Islami. Soal memuliakan tamu dan memberikan rasa aman pada tetangga, soal menyayangi anak yatim dan faqir miskin, soal bermanfaat bagi orang lain, soal tidak berbuat kerusakan, soal berbakti kepada orang tua, soal sholat jama’ah, soal zakat dan infaq, serta soal kemuliaan Ilmu pengetahuan, maka kita akan dapati, betapa luhur ajaran Islam.

Kemudian, adalah soal perang melawan hawa nafsu. Ini  juga acap kali kita abaikan. Kita melulu berdebat kusir sampai cek-cok gara-gara bicara soal perang ini dan perang anu. Sementara hawa nafsu kita, amarah kita, kedengkian kita, kesombongan kita, rasa paling benar kita, dibiarkan tumbuh subur untuk hidup dalam hati sanubari. Jika demikian, sering-sering saja baca Al Qur’an dan dzikir kepada Allah SWT. Alla bidzikrillahi tatmainul qulub. Hanya dengan ingat kepada Alloh hati menjadi tentram.

Namun, jika kita ber-Islam dari hal yang muluk-muluk, misalnya soal penegakkan “hukuman Islam”, soal-soal kafir dan musyrik, soal sunnah-bid’ah, soal organisasi,  hingga soal konspirasi tingkat tinggi dan politik yang menyeret “nama agama”, maka keber-agamaan kita akan berubah menjadi kebencian, kebengisan dan penuh prasangka.

Soal amar ma’ruf nahi munkar-, maka  terpenting dimulai dari diri sendiri. Pastikan kita sendiri sudah menjalankan yang ma’ruf, sebelum menyuruh yang lain berbuat ma’ruf apalagi menyuruh nahi munkar. Jangan sampai kita menjadi antaquluna mala tafgalun, mengatakan apa yang tidak dilakukan yang amat dibenci oleh Tuhan.

Sebagai ajaran yang sempurna, tentu Islam akan menumbuhkan peradaban yang unggul dan memunculkan situasi yang nyaman dalam beribadah kepada-Nya. Serta, menebarkan kasih sayang kepada seluruh mahkluqnya.

Mari, jangan tinggalkan pokok-pokok  ajaran agama yang sederhana. Sebelum bicara masalah umat level nasional dan Internasional, yang hanya berdebat tanpa melakukan apa-apa, cobalah tengok kampung, dusun, atau kawasan tempat kita tinggal. Sudah bersihkah mushola kita, sudahkan anak-anak di kampung kita bisa membaca Al Qur’an, bagaimana anak-anak yatim dan faqir, bagaimana pengelolaan zakat agar lebih produktif,  bagaimana hubungan dengan tetangga, bagaimana jama’ah kita. Dan seterusnya.

Dalam berdakwah, nabi Muhammad SAW sendiri sangat lembut dalam bersikap, meski sangat tegas dan keras dalam hal akidah dan keyakinan. Nabi adalah tauladan bagi segala golongan. Maka mari, jangan mudah marah, menebar kebencian dan prasangka.
Salam inspirasi. Mohon koreksi dan teguran jika salah.


 Penulis : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Menerawang Masa Depan Orang “TI”

Jika kita membandingkan perlombaan kemutakhiran teknologi, maka yang paling cepat melejit adalah Teknologi Informasi. Ia muncul sebagai pemenang di era ini. Saat dunia disatukan oleh piranti komunikasi, kemudian menyulap informasi menjadi pelebur jarak antar benua sehingga yang jauh menjadi sangat dekat.

Bahkan, persaingan kehidupan saat ini bukan lagi antara yang kaya dengan yang miskin, yang desa dengan yang kota. Yang serius dengan yang “dagelan”. Persaingan sesungguhnya adalah antara siapa  paling cepat meraih informasi, dan mengolahnya sebagai dasar pengambilan keputusan.

Penggunaan Teknologi Informasi, utamanya ponsel pintar (smartphone) dan komputerisasi di segala aspek kehidupan, membuat disiplin ilmu Teknologi Informasi laris manis diserbu oleh peserta didik kita. Jurusan Teknologi Informasi (TI) dan Sistem Informasi (SI) menjadi buah mangga yang ranum sekaligus menggiurkan bagi calon mahasiswa yang sedang bingung menentukan jurusan.

Ironisnya, banyak yang tidak mempertimbangkan bahwa baik jurusan TI maupun SI adalah bidang ilmu pengetahuan yang menjadikan logika matematis sebagai spirit olah berfikir. Al hasil, banyak mereka yang dari awal sudah alergi terhadap angka-angka atau membenci matematika menjadi produk gagal dan mutung di tengah jalan.

Meskipun dua jurusan ini, (yakni TI dan SI), bermuara pada dua hal yang berbeda. Jika TI mencetak seorang programer dan teknisi IT handal, maka SI akan melahirkan seorang analisis sistem, web developer, dan pakar yang  mensinergikan antara perkembangan TI dengan kebutuhan informasi yang berkembang di masyarakat.
Karena itu, Pakar “IT” yang dibutuhkan, baik oleh dunia industri maupun masyarakat, adalah mereka yang memiliki skill mumpuni dengan kecepatan meng-inovasi atau mengembangkan program yang sudah ada menjadi lebih uptudate dan mengimbangi perkembangan zaman. Dunia IT adalah dunia yang cepat “basi” jika hanya berpuas diri dan tidak mengembangkan apa yang sudah ada alias statis. Kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah jika sewaktu-waktu ada troubleshooting juga menjadi keharusan bagi mereka yang telah menceburkan diri ke dunia IT.   

Lalu, bagaimana dengan sarjana-sarjana lulusan IT atau SI yang hanya berbekal Ijazah? Sekedar tahu secara teoritis tapi gagap jika berurusan dengan permasalahan IT dalam dunia kerja dan industri? Banyak kasus, sarjana komputer yang jika di test untuk membuat program atau mengotak-atik web, tidak tahu apa-apa.

Inilah yang perlu digaris bawahi. Ilmu pengetahuan apapun, apalagi IT, jangan hanya diperlajari sebatas di bangku kuliah. Itu sangat sempit dan sangat teoritis. Cobalah menambah cakrawala wawasan dengan belajar dari berbagai sumber, komunitas, buku dan apapun diluar bangku kuliah. Kemudian langsung praktik. Jangan muter-muter di teori meskipun teori juga penting. Jika anda hanya berbekal ijazah dan sekelumit ilmu yang anda dapat dari bangku kuliah, maka hanya “bejo” sebagai satu-satunya harapan.

Memang, masa depan dan rezeki, apalagi perkara “finansial” itu urusan Tuhan. Namun, membekali diri dengan ketrampilan di bidang yang paling banyak dibutuhkan, akan membuat kita menjadi manusia yang memiliki nilai tambah. Bukan hanya sekedar “manusia”.
Salam inspirasi.


Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Idul Fitri : Diterimakah Amalan Kita?

Nama “Sugeng Riyadi” memang mendadak tenar saat Idul Fitri mampir di siklus waktu hidup kita. Sebelumnya, saya atas nama penulis jurnalva.com mengucapkan “Sugeng Riyadi” alias selamat Idul Fitri kepada segenap pembaca  Jurnalva.com yang beragama Islam dimanapun anda berada. Mudah-mudahan, Allah SWT menerima amalanku dan amalanmu.

Namun, kita perlu was-was, khawatir, dan juga merasa takut (khouf)  bahwa amalan kita ditolak oleh Allah SWT.  Pasalnya, amalan dan ibadah kita biasanya hanya tampilan alias casing belaka. Yang menjalankan ibadah hanya aspek jasmani dan jasadi, bukan ruhani dan jiwa kita. Aspek jasmanipun tidak semuanya. Hanya sebagian dan itupun kalau dilihat banyak orang.

Dimulai dari puasa kita. Kebanyakan, kita hanya menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Lantas mata, telinga, dan lidah kita biarkan bermaksiat kepada Allah. Belum lagi jiwa kita, hati kita, yang tetap marah-marah seperti biasa. Penyakit hati macam sombong, iri, dengki dan kikir tetap beroperasi seperti biasa. Tidak ikut puasa. Lhah, apa kira-kira diterima puasa kita?

Kemudian sholat kita. Ketika berangkat sholat jama’ah, terkadang motif kita sudah lain. Tapi masih mending yang bergegas ke masjid saat adzan berkumandang. Kemudian mulai dari takbirotul ikhrom, membaca fatihah,  ruku’, sujud, tahiyat hingga salam, adakah yang tersisa?  Semua dilakukan dengan hambar seperti menjalankan upacara : selesai  habis perkara.
Saat lisan kita menyebut kalimat takbir, tetapi diri sendiri jua yang kita ingat. Saat kita menyalami nabi dan mengucap sholawat, itu hanya sebatas lisan, bahkan kita tidak merasa sedang memberi salam dan bersholawat kepada nabi. Tidak sampai ke hati. Jangan-jangan, kita termasuk  yang celaka karena lalai dalam sholatnya.
Kemudian infaq kita dan zakat kita. Kalau soal jumlah oke, semakin bertambah. Tapi sikap riya’ dan takabur kadang masih mengiringi amalan kita. Nama nggak tercantum di daftar muzakki saja kita sudah kesal.  Kira-kira diterima nggak ya zakat kita?

Lebih parah, jika kita justru mengisi waktu ramadhan untuk kegiatan yang tidak berguna macam tidur atau mengunjungi pusat perbelanjaan. Alasannya ngabuburit. Kira-kira dianggap ibadah nggak ya?

Jangan sampai yang habis membaca tulisan ini justru pesimis dan berucap “ah, mendingan nggak ibadah deh, daripada nggak diterima”. Urusan diterima nggak nya itu hak prerogatif Allah SWT. Kita harus terus berusaha memperbaiki dan memperbanyak amalan ibadah kita.
Jika serangkaian ibadah dan amalan di bulan Ramadhan itu sudah kita lampaui dengan susah payah namun ikhlas, maka itu baru namanya menempa dan membersihkan diri untuk kembali ke fitri.
Nah, bagi yang puasa saja bolong, jamaah kadang-kadang, tadarus nggak pernah, ke majlis ilmu nggak pernah, bagaimana mau kembali ke fitri?
Sebagaimana prinsip penganut tharekat : Allohumma innaka anta maksudiy, wa ridhoka mathlubi. Ya Alloh, hanya Engkaulah tujuanku dan hanya ridha-Mulah yang aku cari.

Mari, perjelas kembali apa tujuan kita beragama dan beribadah.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H/2015 M


Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Andri Rizki Putra : Ganteng, Cerdas, Jujur dan Menginspirasi

Umumnya anak muda masa kini, Ia lebih fokus memikirkan dunianya sendiri dan masa depannya sendiri. Bahkan, konsep sesat “yang penting happy” sudah mewabah sedemikian parah di kalangan generasi muda Indonesia.

Apalagi mengaitkan pemuda dengan “kebobrokan” sistem pendidikan di negeri ini. Lengkap sudah. Mulai dari karut-marut kurikulum, komersialisasi pendidikan, tawuran pelajar /mahasiswa, jual-beli ijazah, skripsi palsu, plagiarisme, hingga suap menyuap dalam dunia pendidikan.

Kebanyakan dari pelaku pendidikan justru menyingkirkan jauh-jauh spirit kejujuran yang sebenarnya adalah ruh dari pendidikan itu sendiri.

Di tengah mewabahnya virus ketidak-jujuran yang melanda anak bangsa tersebut, muncul sosok pemuda yang bertindak di luar kebiasaan. Ia bahkan menggebrak keadaan dengan memberanikan diri melawan arus ketidakjujuran. Ia adalah pemuda tampan bernama Andri Rizki Putra.

Ketika profil anak muda ini dimuat  majalah Detik, mengundang rasa penasaran saya untuk menelisik lebih jauh, siapa sebenarnya sosok Andri Rizki Putra.

Ternyata, sungguh menakjubkan. Andri Rizki Putra adalah sosok yang layak untuk dijadikan inspirasi, khususnya bagi para kawula muda. Peraih penghargaan Kick Andy Young Heroes 2015 ini telah menorehkan kontribusi nyata bagi kemajuan anak bangsa.

Kisah itu bermula dari kekecewaan Rizki pada sekolahnya yang justru menyuruh peserta didik untuk menyontek saat Ujian Nasional. Saat itu, Ujian Nasional  adalah momentum yang menegangkan, dimana reputasi sekolah dan kelulusan siswa adalah segalanya. Jangan heran, jika kebanyakan sekolah menghalalkan segala cara agar peserta didiknya dapat lulus seratus persen. Ini bahkan hal yang lumrah, kesalahan yang dianggap sudah biasa.

Tapi nurani seorang Andri Rizki Putra tidak menerima ini. Ia berontak, membenci ketidakjujuran. Baginya, pendidikan tanpa kejujuran seperti “omong kosong”. Dalam acara talk show Kikc Andy, ia menyatakan telah mengadukan masalah pencontekan masal ini ke Kepala Sekolah. Namun hasilnya nihil. Ia justru dikucilkan dan dianggap pahlawan kesiangan.

Karena itu, ia semakin kecewa dan kehilangan kepercayaan pada institusi pendidikan. Setelah lulus dari SMP,  pemuda kelahiran Oktober 1991 ini mutung dan hanya mampir di bangku SMA selama dua bulan. Ia memutuskan drop out alias hengkang dari bangku SMA.

Setelah itu, ia mutuskan belajar sendiri secara otodidak, dengan referensi di internet dan buku-buku bekas yang Ia pinjam dari tetangga. Ia rangkum seluruh pelajaran, belajar habis-habisan dan tanpa guru. Ini metode belajar yang sungguh tidak lazim dan ajaib. Meski mengaku sempat stres, Rizki tidak patah arang.

Al hasil, hanya butuh waktu satu tahun bagi pria pemilik senyum manis ini untuk mengikuti ujian kesetaraan Paket C/ setara SMA yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional. Artinya, ia hanya butuh satu tahun untuk menamatkan Paket C setara SMA.

Tidak berhenti di situ. Rizki kemudian mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia bersaing dengan peserta SNMPTN di seluruh Indonesia secara jujur dan dinyatakan diterima. Dekan Fakultas Hukum UI sampai geleng-geleng kepala, ada lulusan Paket C diterima di Fakultas Hukum UI. Dan, hanya butuh waktu 3 tahun untuk meraih gelar Sarjana Hukum dari UI dengan predikat Cumlaude. Luar biasa.


Lebih mengaggumkan, sebagai bentuk kendulianya kepada pemuda dan anak-anak yang tidak bisa menempuh sekolah formal, Andri Rizki Putra tergugah hatinya untuk mendirikan Yayasan yang ia beri nama Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB). Ia menyediakan pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C bagi mereka yang tidak  memiliki kesempatan menempuh pendidikan di sekolah formal. Mulai dari asisten rumah tangga hingga pengangguran dapat belajar di YPAB secara gratis.

Kini, media ramai memberitakan Andri Rizki Putra sebagai inspiring person. Acara talk show dan seminar ramai-ramai mengundangnya sebagai narasumber. Ia juga mengarang buku berjudul “Orang Jujur Tidak Sekolah”. Ada-ada saja.

Di tengah kebanyakan pemuda yang lebih banyak menuntut ini dan itu, Andri Rizki Putra justru memberikan contoh bahwa Ia lebih banyak memberi daripada menerima. Ia yang menjadikan kejujuran sebagai ruh dan spirit bagi kehidupan. Bisa jadi, Andri Rizki Putra adalah calon pemimpin yang layak untuk diperhitungkan.

Author : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Sumber artikel    : Majalah Detik, Acara Tlak Show Kick Andy

Sumber Gambar : www.google.com
Share:

Kasus Hukum Anas : Keadilan Milik Siapa?

Sejak kapan, penegakkan hukum disetir oleh opini publik? Mungkin kita sulit menjawab. Namun, pasca lengsernya rezim orde baru, arah penegakkan hukum di negeri ini tampaknya semakin jauh dari cita-cita reformasi. Alih-alih memperjuangkan supermasi hukum dan keadilan untuk semua, nyatanya hukum justru tunduk pada bayang-bayang opini publik. Kasus-kasus yang dianggap “populis” dan sesuai keinginan publik, dikatrol dan didramatisir sedemikian rupa. Akhirnya, penegak hukum dan institusi hukum berlomba-lomba mendongkrak popularitas dengan membidik orang-orang ternama.

Maka jangan heran, jika target penetapan tersangka adalah mereka-mereka yang punya nama besar lagi duduk di jabatan-jabatan penting. Mereka yang punya daya tarik bombastis dalam dunia pemberitaan media. Menyiduk dengan mengorek kesalahan mereka serta menyeretnya ke meja hijau akan membuat lembaga hukum itu distempel “berprestasi” di mata publik. Citra “pemberani” dan “pahlawan” pemberantas koruptor akan melekat dan nama mereka akan melejit. Sementara skandal kasus akbar, seperti Century yang dulu menjadi target mantan ketua KPK Abaraham Samad, justru menguap entah kemana.

Mungkin jika pola penegakkan hukum seperti ini dilakukan dengan obyektif, tanpa ditunggangi kepentingan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dan tanpa unsur dendam politik, maka penegak hukum akan benar-benar gagah di mata publik. Namun sangat disayangkan, jika banyak kasus justru disinyalir hasil rekayasa. Dari penetapan tersangka hingga vonis hakim seolah bisa di­-engineering sedemikian rupa.

Kasus hukum yang menjerat mantan  Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum adalah contoh kasat mata betapa penegakkan hukum lebih berorientasi pada “cari muka” para institusi penegak hukum di mata publik.
Sejak awal, publik menilai banyak kejanggalan. Mulai dari penetapan tersangka yang berdasarkan keterangan Mohamad Nazarudin, heboh sprindik bocor, hingga berbagai pernyataan kontroversial ketua KPK kala itu, Abraham Samad yang kerap menyudutkan Anas sehingga terkesan tendensius. Belum lagi soal fakta persidangan yang saling bertentangan satu saksi dengan saksi lainya. Kesemuanya  jelaslah sebagai pemaksaan kehendak untuk membuktikan Anas bersalah.

Paling menarik adalah adanya bumbu politis, tentang tuduhan jaksa yang menyatakan Anas Urbaningrum ingin menjadi presiden. Ini adalah terang benderang, bahwa Anas adalah nama yang terpaksa diseret untuk menjadi tumbal berbagai kepentingan. Muaranya hanya Tuhan yang Maha Tahu. Wallohu ‘Alam saja.


Terakhir, soal putusan Hakim Artidjo yang sebenarnya sudah dapat ditebak sejak awal. Bukannya berangkat dari azas keadilan, putusan Artidjo justru penuh dengan semangat menghukum. Ah, tidak ada manusia yang berlaku adil dengan sempurna. Bukankah, hanya Alloh sebaik-baik hakim?

Author : Adi Esmawan
Sumber Gambar : Sharia.co.id
Share:

Definition List

Unordered List

Support