Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Membaca Gontor dari Kiprah Para Alumni


Mari kita rehat sejenak dari kegaduhan. Mengungsi dari hiruk pikuk dinamika politik membosankan yang kian hari kian bertambah tinggi tensi dan pernak-perniknya. Jangan lupa berdo’a agar bangsa ini tidak terjebak pada kubangan perpecahan dan pertentangan yang tak berkesudahan.

Kita ajak “pikiran” kita untuk safari saja ke Ponorogo, Jawa Timur. Menengok  lebih dekat “perguruan istimewa” yang telah menghasilkan pendekar-pendekar hebat yang mengisi jagad Indonesia.

Mari kita mulai. Siapa yang tidak kenal KH Idham Chalid, sang pejuang, politisi dan Ketua Tanfidziyah PBNU paling lama menjabat (1952 – 1984). Ada cendikiawan dan pendiri Paramadina, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, tokoh nasional KH Hasyim Muzadi, ulama terkemuka Prof. Dr. KH Din Syamsudin, politisi senior Dr. Hidayat Nur Wahid, mantan ketua KPK Adnan Pandu Praja, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, hingga tokoh pendiri MMI Ustadz Abu Bakar Baasyir, dan sederet nama “penting” lainya adalah para pendekar alumni “perguruan istimewa” yang dimiliki tanah air ini.

Ya, benar. Lembaga pendidikan tersebut adalah Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo yang pada tahun 2016 ini genap berusia sembilan dasa warsa.

Didirikan oleh tiga bersaudara putra Kyai Santoso Anom Besari, yakni KH. Ahmad Sahal, KH. Zaenudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi. Ketiga pendiri ini kemudian terkenal dengan istilah trimurti  Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.

Apa sih istimewanya Pondok Modern Darussalam Gontor?

Penulis sendiri belum pernah berkunjung secara langsung ke kampus Gontor yang sudah memiliki puluhan pondok cabang di seluruh penjuru tanah air dan ratusan pondok alumni. Namun demikian, penulis mencoba “meraba dan membaca” keistimewaan pondok Gontor melalui buku-buku, media dan terpenting adalah “membaca kiprah para alumni” pondok Modern Gontor dalam kancah sejarah Indonesia. Alumni adalah “output” yang kita anggap sebagai hasil cetakan sebuah produk pendidikan. Mudah saja kita menilai apakah sebuah lembaga pendidikan itu kompeten atau tidak, dilihat dari kiprah para alumninya.

Dan alumni Gontor sangat menarik untuk dikaji. Dimana Gontor adalah perguruan yang menghasilkan tokoh “papan atas”  dengan keragaman dan perbedaan pemikiran. Mungkin karena Gontor “berdiri di atas dan untuk semua golongan”, sehingga alumni-nya mengisi warna-warni pandangan keber-agamaan di Indonesia.

Jika KH Idham Chalid yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama, juga KH Hasyim Muzadi. Maka ada Prof. Din Syamsudin yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Jika Nurcholis Madjid merupakan tokoh modernis dan cenderung “liberal”, maka ada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang cenderung konservatif dan radikal. Luar biasa. Satu perguruan dengan beberapa perbedaan pemikiran.

KH Hasyim Muzadi pernah memaparkan panjang lebar bagaimana “kesan dan kenangan” saat beliau nyantri di Gontor. Bagi beliau, Gontor bukan hanya mengajarkan keilmuan (dirosah), tapi Gontor justru mengajarkan kehidupan secara utuh. Ingat bahwa keilmuan adalah bagian dari kehidupan, bukan kehidupan bagian dari keilmuan. Jadi, apa yang dilihat, didengar, dibiasakan, dikaji, dibaca,  dipahami dan dirasakan di Gontor adalah “pendidikan” yang utuh.

Trimurti pondok Gontor bukan hanya mewariskan sebuah lembaga berujud fisik bangunan pesantren. Lebih dari itu, trimurti pondok gontor telah mengestavetkan nilai-nilai perjuangan, semangat dan keteladanan yang akan hidup sebagai “mesin pencetak” tokoh-tokoh yang akan mengisi  dan melanjutkan perjuangan tri murti untuk bangsa ini.

Di Gontor memiliki motto yang menjadi pusaka: (1) berbudi tinggi, (2) berbadan sehat, (3) berpengetahuan luas dan (4) berpikiran bebas.

Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yang teryata merupakan drop out dari Gontor menjelaskan,bahwa keempat motto di atas adalah proses runtut sistem pendidikan Gontor yang tidak boleh dibolak-balik. Keempat ini adalah formula yang paling pas untuk mencetak “manusia unggul” yang dibutuhkan agama dan bangsa.

Jangan lupa, bahwa akhlaqul karimah harus diimbangi dengan raga yang sehat, pengetahuan yang luas dan baru berpikir secara bebas. Tidak boleh berpikir bebas dulu baru berpengetahuan luas.
Selain itu, Gontor juga memiliki  Panca Jiwa, yakni keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Panca Jiwa ini diajarkan bukan hanya dengan teori, tapi dipraktikan langsung oleh tiap santri dengan tahapan dan “dosis” yang pas.

Kembali kepada kiprah alumni. Gontor telah membuktikan pada dunia, bahwa alumni hasil didikan pesantren bukanlah orang sembarangan. Mereka punya kompetensi dan kapastitas yang sangat dibutuhkan Indonesia dan dunia.

Presiden Joko Widodo pada acara resepsi kesyukuran Gontor  mengatakan, bahwa Pondok Gontor telah membuktikan bahwa lembaga ini mampu bersaing, dibuktikan alumninya turut berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Ada yang duduk di eksekutif, pimpinan DPD, legislatif dan profesional lainya.

Dan sejarah membuktikan, bahwa alumni Gontor telah mengabdikan ilmunya untuk bangsa dan negara. Banyak diantaranya adalah para Guru Besar bergelar Profesor Doktor. Para ahli bahasa asing, diplomat, menteri, wakil menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, dan lain sebagainya.

Dan terpenting adalah pesan dari Trimurti, “Orang besar menurut Gontor, bukanlah orang yang terkenal dan kaya, tapi sesungguhnya mereka yang mau mengajar walau di surau-surau kecil. Mereka yang bermanfaatlah yang bisa disebut orang besar”.


Juga wejangan KH Imam Zarkasyi, “Kalau saya punya santri mau berjuang kedesanya, membina dakwah dalam desa itu, anak seperti itu cukup besar bagi saya

Terakhir, kita butuh gontor-gontor di seluruh penjuru tanah air.  Mengajarkan, menyebarkan dan mendidik anak bangsa dengan “cara” dan metodenya yang luar biasa.

Salam.

Penulis : Adi Esmawan, owner jurnalva.com



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support