Kita selalu
mengkhawatirkan hari esok dan masa depan. Mulai dari persediaan beras, lauk,
biaya sekolah, biaya nikah, biaya persalinan, biaya kuliah, biaya wisuda, biaya
cicilan, biaya pengembangan ini dan itu, renovasi ini dan itu, hingga biaya
kesehatan di hari tua. Saban hari, selalu hari esok dan masa depan kehidupan
duniawi yang kita pikirkan dan kita usahakan. Bahkan, ada yang sampai stres dan
lupa bahagia gara-gara pusing memikirkan masa depan.
Manusia mungkin
adalah satu-satunya makhluk di bumi yang selalu mempersiapkan “hari esok”
sebaik-baiknya. Kita tengok makhluk lain, tidak ada satupun yang punya “saldo
tabungan” untuk hari esok. Kalaupun ada, paling hanya cadangan makanan atau
cadangan air, misalnya pada tumbuhan dan hewan padang pasir seperti unta.
Ironisnya, kita
justru lupa satu hal. Misalnya, seseorang yang sudah mempersiapkan masa depan
sebaik mungkin, sekolah sudah tinggi. Deposito, asuransi dan tabungan sudah
berjibun. Tapi sayang, Tuhan memanggilnya lebih cepat dari yang Ia kira.
Apesnya lagi, dia belum sempat mempersiapkan diri untuk menemui-Nya dengan
berbuat baik dan bermanfaat bagi manusia lain. Yah, dia terlalu sibuk mencintai
dirinya sendiri.
Bukankah, sebagai
makhluq beriman, kita menyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya? Merpertanggungjawaban kesempatan hidup
didunia yang singkat ini? Kebaikan atau keburukan apapun, walau sebesar biji dzarroh
akan diperhitungkan dengan seadil-adilnya? Ya, kematian adalah keniscayaan,
kepastian. Tak ada yang mengingkari itu. Dan kehidupan pasca kematian, itulah
sebenarnya harus kita persiapkan sebaik mungkin.
Dengan apa? Dengan
ilmu dan perbuatan (amalan). Semuanya harus dilandasi dengan ilmu. Makanya,
nabi sudah mewanti-wanti, bahwa siapa yang berkehendak pada dunia, maka harus
dengan ilmu. Siapa yang menghendaki akhirat, maka dengan ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki keduanya,
juga dengan ilmu. Jadi monggo, anda menghendaki yang mana. Kalau enak-nya sih,
menghendaki keduanya : dunia dan akhirat.
Tapi yang kita
lakukan, hanya menabung untuk dunia kita, masa depan hidup kita di sini. Setiap
hari kita mencari uang, kita belajar, kita sekolah, semuanya untuk hidup kita
hanya “di sini”. Sehingga akhirat terabaikan, bahkan dianggap tidak penting. Na’udzubillah.
Acap kali, kita suruh
adik-adik dan putra-putri kita untuk semangat belajar, sekolah, ikut les ini
dan les itu. Ikut ekstra ini dan ekstra itu.
Tapi soal mencari ilmu agama. Ah, kita anggap itu sampingan. Itu tidak penting.
Cukup ngaji di TPQ saja sudah.
Padahal, ngaji di TPQ
itu hanya baru bisa membuat anak membaca huruf hijaiyah, jadi baru tahap dasar.
Bayangkan, ilmu Alloh yang begitu luas, yang jika pohon-pohon dijadikan pena
dan air laut dijadikan tinta, tidak akan cukup. Nah kok, anak cuman disuruh
belajar TPQ. Sudah lulus SD mentok ngajinya?
Mari kita merenung
sejenak. Samakan persepsi kita tentang apa makna sesungguhnya dari “Ilmu Agama”.
Ketahuilah, bahwa ilmu agama adalah Ilmu yang mengatur tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya (transendental), mengatur hubungan manusia dengan
manusia (sosial-horisontal), dan juga manusia dengan alam semesta. Ilmu
agama akan menunjukan bagaimana hidup yang seharusnya, untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jadi, belajar agama
itu bukan melulu tentang bagaimana cara beribadah, prosedur ritual keagamaan,
apalagi hanya sebatas belajar hukum ini dan hukum nganu. Itu sempit sekali.
Agama adalah ilmu tentang membentuk peradaban unggul, sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi dalam mebangun Madinah sebagai pusat peradaban.
Ajakan
saya, mari belajar, mencari ilmu
sebanyak-banyaknya mumpung masih diberi kesempatan. Menabung untuk masa
depan dunia juga penting, menabung untuk kehidupan kita yang panjang lagi abadi juga sangat penting. Carilah ilmu
untuk dunia kita yang bahagia (fi
dunya hasanah) dan akhirat kita yang bahagia (akhiroti hasanah).
Mari,
ngaji tiap hari!
Penulis
: Adi Esmawan, Pengasuh “Muhibul Qur’an”