Jurnal Wawasan dan Inspirasi Kehidupan

Bank Sampah, Manajemen Efektif Pengelolaan Sampah

Jangan pernah menganggap enteng masalah sampah. Ya, sampah kadang menjadi musuh paling serius dalam...

Budaya Sambat, Gotong Royong yang Mulai Luntur

Tanpa kita sadari namun sangat kita rasakan, banyak kebaikan dan kearifan yang hilang seiring berjalannya zaman. Dulu, jika..

Programer : Seniman Tingkat Tinggi?

Judul di atas mungkin terlalu “narsis” atau terkesan menempatkan programer pada derajat yang amat terpuji. Tapi agaknya itu yang

Membaca Soekarno, Soeharto dan Indonesia Kita

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya

Sebentar Lagi, Guru Akan Tersingkir?

Kalau hanya untuk menghafalkan materi, tebak-tebakan soal, dan mempelajari keahlian tertentu, tidak usah pakai guru. Pakai komputer saja lebih hebat. Kalau sekolah hanya menjalankan fungsi “pengajaran”, pakai komputer saja. Tidak usah dan tidak perlu bimbingan guru.

Manusia Hardware

Anggap saja kita ini seperangkat komputer. Tidak usah berdebat apakah bentuknya laptop atau komputer duduk (PC). Pokoknya, anggaplah anda itu komputer yang terdiri dari dua komponen, hardware dan software. Dan diperjelas lagi, hardware itu bentuk fisiknya komputer sedangkan software adalah program di dalamnya yang kasat mata alias tidak bisa diraba. Bahkan, dicium juga tidak bisa.

Oke. Sampai di sini kita sudah tahu tanpa harus diberitahu. Hardware-nya manusia itu ya tampilan fisiknya manusia. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, segala anggota badan itulah hardware manusia. Silahkan dipilah-pilah sendiri mana prosesor, CPU, input device dan output device. Tapi tidak usah diperinci mana yang kita anggap keyboard, mouse dan monitor. Nanti nggak bakalan ketemu. Ini cuma analogi bahkan hanya perumpamaan. Kita sama sekali tidak sedang bicara teknisi perangkat keras. Kita sedang bicara dua unsur penting manusia,yakni  jasmani dan rokhani. Kita analogikan saja jasmani itu hardware dan rokhani itu software.

Nah, mengapa judul di atas sengaja saya tulis  “Manusia Hardware”,  karena kita lebih sayang fisik daripada ruh.  Waktu kita lebih banyak habis untuk merawat fisik, kenikmatan jasmani  dan meremehkan atau bahkan mengabaikan aspek ruhani.

Kekhawatiran kita hanya pada fisik. Coba, betapa khawatirnya akan biaya ini dan biaya itu di hari esok. Semuanya biaya jasmani. Lhah biaya pendidikan? Itu masuk biaya jasmani karena pendidikan masa kini hanya untuk mencari pekerjaan? Atau kualitas hidup yang lebih baik? Ah semua hanya melulu pada kebahagiaan jasmani belaka.

Jadi, ibarat komputer, kita hanya memikirkan casing atau perangkat kerasnya saja. Oke. Kita mulai dari yang tingkat tinggi. Anggaran negara banyak yang terkuras untuk pembangunan fisik semata. Apalah itu namanya; ekonomi, infrastruktur, gedung-gedung, sarana prasarana. Yang dikejar target pertumbuhanya semata hanyalah fisik. Kita bahkan lupa bagian penting lagu kebangsaan kita “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Bangun jiwanya dulu, baru badan. Jangan badannya terus dibangun, jiwa dibiarkan sekarat bahkan mati.

Sekarang ada lagi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia. Perlu diperjelas apanya yang mau dibangun? Jika hanya melulu soal pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), keterampilan alias skill, maka ujung-ujungnya pasti daya saing dan kemampuan bekerja untuk mandirisasi ekonomi. Ah  lagi-lagi duit dan dunia yang jadi target.

Kita memang tidak menafikan apalagi mengesampingkan aspek kesejahteraan hidup. Apalagi menyepelekan sektor ekonomi dan uang. Sama sekali tidak. Tapi sebagai makhluk berakal dan beragama, kita semua sudah tahu, bahwa hidup di atas tanah air itu ada batas waktunya. Kita punya Tuhan sebagai tujuan. Dunia hanya gerbong kereta yang terus berjalan menuju tujuan : Tuhan. Kita tidak boleh terlena dan hanya bersenang-senang di gerbong lalu lupa tujuan. Nanti kita baru tersadar kalau sudah sampai di stasiun kematian. Nah lhoh, penyesalan sudah tiada guna.

Silahkan anda buat gerbong kereta kehidupan anda senyaman mungkin, dengan fasilitas semewah mungkin. Se-sejahtera mungkin. Tapi jangan pernah lupa tujuan perjalanan dan jangan lupa peta jalan dari Tuhan. Biar tidak tersesat. Itu saja. Maka anda akan bahagia di gerbong “dunia” dan bahagia di tempat  tujuan.

Kembali ke judul di atas “manusia hardware”. Saya jadi lupa untuk membahas lagi. Yang jelas, fisik kita, jasmani kita, pasti akan rusak. Ganteng dan cantik itu ada batas waktunya. Kekuatan mata, telinga, hati dan jantung ada umurnya. Maka, mari kita rawat jasmani kita tanpa mengabaikan ruhani kita.
Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya.


Author : Adi Esmawan, Pengasuh Jurnalva.com
Share:

Yuk, Nabung Ilmu!

Kita selalu mengkhawatirkan hari esok dan masa depan. Mulai dari persediaan beras, lauk, biaya sekolah, biaya nikah, biaya persalinan, biaya kuliah, biaya wisuda, biaya cicilan, biaya pengembangan ini dan itu, renovasi ini dan itu, hingga biaya kesehatan di hari tua. Saban hari, selalu hari esok dan masa depan kehidupan duniawi yang kita pikirkan dan kita usahakan. Bahkan, ada yang sampai stres dan lupa bahagia gara-gara pusing memikirkan masa depan.

Manusia mungkin adalah satu-satunya makhluk di bumi yang selalu mempersiapkan “hari esok” sebaik-baiknya. Kita tengok makhluk lain, tidak ada satupun yang punya “saldo tabungan” untuk hari esok. Kalaupun ada, paling hanya cadangan makanan atau cadangan air, misalnya pada tumbuhan dan hewan padang pasir seperti unta.

Ironisnya, kita justru lupa satu hal. Misalnya, seseorang yang sudah mempersiapkan masa depan sebaik mungkin, sekolah sudah tinggi. Deposito, asuransi dan tabungan sudah berjibun. Tapi sayang, Tuhan memanggilnya lebih cepat dari yang Ia kira. Apesnya lagi, dia belum sempat mempersiapkan diri untuk menemui-Nya dengan berbuat baik dan bermanfaat bagi manusia lain. Yah, dia terlalu sibuk mencintai dirinya sendiri.

Bukankah, sebagai makhluq beriman, kita menyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya?  Merpertanggungjawaban kesempatan hidup didunia yang singkat ini? Kebaikan atau keburukan apapun, walau sebesar biji dzarroh akan diperhitungkan dengan seadil-adilnya? Ya, kematian adalah keniscayaan, kepastian. Tak ada yang mengingkari itu. Dan kehidupan pasca kematian, itulah sebenarnya harus kita persiapkan sebaik mungkin.

Dengan apa? Dengan ilmu dan perbuatan (amalan). Semuanya harus dilandasi dengan ilmu. Makanya, nabi sudah mewanti-wanti, bahwa siapa yang berkehendak pada dunia, maka harus dengan ilmu. Siapa yang menghendaki akhirat, maka dengan ilmu.  Dan barang siapa yang menghendaki keduanya, juga dengan ilmu. Jadi monggo, anda menghendaki yang mana. Kalau enak-nya sih, menghendaki keduanya : dunia dan akhirat.

Tapi yang kita lakukan, hanya menabung untuk dunia kita, masa depan hidup kita di sini. Setiap hari kita mencari uang, kita belajar, kita sekolah, semuanya untuk hidup kita hanya “di sini”. Sehingga akhirat terabaikan, bahkan dianggap tidak penting. Na’udzubillah.

Acap kali, kita suruh adik-adik dan putra-putri kita untuk semangat belajar, sekolah, ikut les ini dan les itu. Ikut ekstra ini dan ekstra itu.  Tapi soal mencari ilmu agama. Ah, kita anggap itu sampingan. Itu tidak penting. Cukup ngaji di TPQ saja sudah.

Padahal, ngaji di TPQ itu hanya baru bisa membuat anak membaca huruf hijaiyah, jadi baru tahap dasar. Bayangkan, ilmu Alloh yang begitu luas, yang jika pohon-pohon dijadikan pena dan air laut dijadikan tinta, tidak akan cukup. Nah kok, anak cuman disuruh belajar TPQ. Sudah lulus SD mentok ngajinya?

Mari kita merenung sejenak. Samakan persepsi kita tentang apa makna sesungguhnya dari “Ilmu Agama”. Ketahuilah, bahwa ilmu agama adalah Ilmu yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (transendental), mengatur hubungan manusia dengan manusia (sosial-horisontal), dan juga manusia dengan alam semesta. Ilmu agama akan menunjukan bagaimana hidup yang seharusnya, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Jadi, belajar agama itu bukan melulu tentang bagaimana cara beribadah, prosedur ritual keagamaan, apalagi hanya sebatas belajar hukum ini dan hukum nganu. Itu sempit sekali. Agama adalah ilmu tentang membentuk peradaban unggul, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam mebangun Madinah sebagai pusat peradaban.

Ajakan saya, mari belajar, mencari ilmu  sebanyak-banyaknya mumpung masih diberi kesempatan. Menabung untuk masa depan dunia juga penting, menabung untuk kehidupan kita yang panjang  lagi abadi juga sangat penting. Carilah ilmu untuk  dunia kita yang bahagia (fi dunya hasanah) dan akhirat kita yang bahagia (akhiroti hasanah).

Mari, ngaji tiap hari!
Penulis : Adi Esmawan, Pengasuh “Muhibul Qur’an”

Sumber gambar : idaluckynew.blogspot
Share:

MENGAPA AL QUR'AN DITURUNKAN BERBAHASA ARAB?

Mengapa bahasa Arab dipilih oleh Alloh sebagai bahasa al Qur’an? Pertanyaan ini sudah terjawab sendiri di dalam Al Qur'an Suroh Yusuf ayat dua. Inna anzalnahul Qur’anan ngarobiyya langalakum ta’qilun. "Sesungguhnya telah kami turunkan Al Qur'an dengan bahasa Arab, agar kalian berfikir". Dari ayat ini, umat manusia disuruh untuk berfikir, mendalami, memahami dan mengkaji kandungan Al Qur’an. Jadi, jangan mengeluh apalagi coba-coba protes. Kenapa ya Al Qur'an tidak berbahasa Jawa? Agama itu harus berhenti di sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami taat.

Kemudian, soal keunggulan bahasa Arab yang katanya elegant, ringkas, dan beberapa keunggulan lainya yang dikemukakan para ahli, itu juga kehendak Alloh. Apalagi struktur tata bahasa (gramatika) dan pilihan kata dalam Al Qur’an yang memiliki kandungan sastra sangat tinggi. Itu rahasia Alloh, kita hanya bisa mengaggumi. Coba buat satu kalimat saja seperti Al Qur’an? Terlebih, Al Qur’an itu diturunkan kepada Nabi yang umiyy alias tidak bisa membaca dan menulis. Jadi, tidak mungkin nabi yang mengarang sendiri Al Qur’an.

Tapi kita perlu prihatin, mengingat Al Qur’an semakin ditinggalkan oleh umat Islam sendiri, utamanya generasi muda. Boro-boro Al Qur’an sebagai petunjuk jalan kehidupan, wong membacanya saja tidak bisa. Lebih parah lagi, keinginan atau semangat untuk mempelajari Al Qur’an kian luntur. Kajian dan komunitas yang mempelajari Al Qur’an semakin tidak diminati.

Masyarakat pada umumnya, belajar Al Qur’an hanya di waktu kecil, di TPQ dan TPA, itupun hanya belajar membaca huruf hijaiyah. Setelah lulus SD atau khatam Iqro’, selesai sudah. Bahkan ada yang tidak sampai bisa dan lancar membaca AL Qur’an sudah meninggalkan Al Qur’an.

Kita tentu bertanya-tanya. Ada apa? Bukankah Al Qur’an adalah satu-satunya penghubung antara kita sebagai hamba dengan Tuhannya? Bukankah Al Qur’an yang akan menunjukan kita pada kebaikan kehidupan dunia dan akhirat?  Bukankah Al Qur’an yang berfungsi sebagai obat hati dan penentram kegelisahan? Bukankah Al Qur’an, pangkal dari seluruh ilmu pengetahuan? Hujjah dari segala argumentasi?

Orang tua misalnya, lebih bersemangat untuk mendorong putra-putrinya mengikuti les ini dan les anu. Ekstrakurikuler ini dan ekstrakurikuler anu. Kemudian soal belajar agama? Ah, kamu sudah besar. Saatnya melatih life skill kehidupan. Ketrampilan hidup lebih utama di era persaingan hidup. Begitu kurang lebih arahan kita kepada yang lebih muda.
Padahal, di dunia ini ada dua yang harus kita cari. Harta dan Ilmu. Kedua-duanya sama-sama penting untuk hidup bahagia. Namun yang sering kita abaikan, harta dan ilmu lebih condong untuk kebahagiaan jasmani. Bukan ruhani. Padahal hukum pasti, bahwa jasmani akan rusak, mati atau punah. Harta akan berpisah dengan pemiliknya. Sedangkan ruhani akan menghadap Pencipta-Nya. Ilmu yang diamalkan dan bermanfaat akan menemani pemiliknya sebagai penolong.

 Jadi pertimbangkan kembali  alokasi harta dan ilmu untuk kehidupan kini (dunya) dan kehidupan nanti (akhirat). Agama menganjurkan kita berdo’a untuk diberi kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat (fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah).

Soal Al Qur’an, ini menjadi sangat penting.  Karena ia adalah peta jalan (road map) bagi kehidupan. Ia menuntun orang-orang yang beriman menuju kebahagiaan hidup, dunia maupun akhirat. Sudahlah, tinggalkan keragu-raguan di hati kita. Dzalikal kitabu la roiba fihi, hudal lil mutaqin. Kalau kita masih meragukan Al Qur’an, berarti di hati kita ada penyakit. Segera obati dengan belajar!

Mari kita kembali kepada Al Qur’an sebagai pedoman hidup, cara hidup, dan pembeda antara mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Sampai disini dulu. Lusa kita sambung kembali. Oh ya, bagi yang tinggal di daerah Banjarnegara, khususnya di Kecamatan Wanayasa dan sekitarnya, silahkan bergabung dengan komunitas Muhibul Qur’an, dengan datang ke Mushola Al Falah Dukuh Sigong Desa Tempuran Kecamatan Wanayasa, setiap ba’da magrib sampai dengan ba’da Isya. Ada kajian belajar bersama tentang materi keagamaan. Ingat, sebaik-baik komunitas adalah perkumpulan belajar.


Penulis : Adi Esmawan, owner jurnalva.com
Share:

Definition List

Unordered List

Support